NIKMATNYA MENCARI HINGGA MAKAN JAMUR BARAT DI KAMPUNG
Sore itu, langit masih basah oleh hujan lebat yang baru saja reda. Udara segar dan aroma tanah basah memenuhi kampung kami, Batumas. Saya bersama belasan anak-anak berusia 6 hingga 10 tahun berjalan perlahan menelusuri pematang sawah yang berukuran kecil, tak jauh dari rumah. Pematang itu basah dan licin, membuat langkah kami harus ekstra hati-hati. Namun, justru di situlah letak keseruannya. Kami menikmati setiap langkah, sesekali menoleh ke kanan dan kiri, memandangi hamparan sawah yang hijau dan segar setelah diguyur hujan. Sebagai ketua rombongan, saya bertanggung jawab penuh menjaga anak-anak kecil ini dalam petualangan kami kali ini. Petualangan yang tak biasa, karena tujuan kami bukan sekadar berjalan-jalan, melainkan mencari jamur yang bersembunyi di balik tumpukan dedaunan kering atau di dekat pohon yang menjadi pagar alami batas sawah.
Kegiatan mencari jamur seperti ini sudah menjadi tradisi di kampung kami, terutama saat musim hujan. Biasanya, seminggu setelah hujan pertama turun, masyarakat sudah ramai-ramai pergi ke sawah atau ke pinggiran kebun untuk mencari jamur yang tumbuh liar. Anak-anak, seperti rombongan kecil yang saya pimpin ini, adalah yang paling antusias. Bagi mereka, ini bukan sekadar mencari jamur, tapi juga petualangan seru yang penuh dengan cerita dan tawa.
Untuk menemukan jamur, kami punya trik khusus. Kami sering mengidentifikasi lokasi jamur dari keberadaan laron. Laron, serangga kecil bersayap yang muncul saat musim hujan, adalah bagian dari siklus hidup rayap. Laron sebenarnya adalah rayap dewasa yang sudah memiliki sayap, baik jantan maupun betina. Mereka keluar dari sarangnya untuk mencari pasangan dan memulai musim kawin. Namun, bagi kami, kemunculan laron adalah pertanda bahwa musim hujan telah tiba dan jamur-jamur liar siap dipanen.
Laron sangat menyukai cahaya terang, terutama di malam hari. Mereka sering berkeliaran di sekitar lampu rumah atau sumber cahaya lainnya. Tapi, di siang atau sore hari, laron biasanya masih bersembunyi di dekat sarangnya. Jika di suatu tempat banyak laron, maka di situlah kami akan menemukan jamur. Keberadaan laron menandakan bahwa di bawah tanah terdapat sarang rayap, dan sarang rayap adalah tempat ideal bagi jamur untuk tumbuh.
Jamur yang kami cari adalah jamur liar yang tumbuh alami di sekitar sawah dan hutan. Jamur ini sangat aman untuk dikonsumsi karena tumbuh dari sarang rayap atau tumpukan dedaunan yang sudah melapuk. Sarang rayap sendiri terbuat dari olahan kayu yang dilumuti oleh rayap pekerja. Sarang ini tidak hanya menjadi tempat tinggal bagi koloni rayap, tapi juga sumber makanan bagi anak-anak rayap yang belum memiliki gigi kuat untuk mengunyah kayu keras. Proses alami inilah yang membuat tanah di sekitar sarang rayap menjadi subur dan cocok untuk pertumbuhan jamur.
Selain sarang rayap, jamur juga sering tumbuh di tumpukan ranting dan dedaunan yang sudah melapuk. Tanah yang dipenuhi bahan organik seperti ini adalah habitat ideal bagi jamur. Jamur-jamur ini tumbuh dengan cepat, terutama setelah hujan, karena kelembaban tanah meningkat dan suhu menjadi lebih dingin. Itulah mengapa musim hujan adalah waktu terbaik untuk mencari jamur.
Jamur yang kami temukan sore itu disebut jamur Tengkong atau jamur barat. Dalam bahasa ilmiah, jamur ini dikenal sebagai Clitocybe nebularis. Jamur Tengkong memiliki ciri khas berwarna coklat muda, terutama pada bagian kubahnya. Rasanya sangat lezat, bahkan lebih enak dibandingkan jamur tiram atau jamur lainnya. Biasanya, jamur ini diolah dengan cara ditumis atau dibuat pepes. Aromanya yang harum dan rasanya yang gurih membuat jamur Tengkong menjadi incaran banyak orang.
Meski jamur ini bisa dibudidayakan, namun rasanya tidak akan pernah bisa menandingi jamur yang tumbuh liar. Ada sesuatu yang istimewa dari jamur liar, mungkin karena mereka tumbuh secara alami, tanpa campur tangan manusia. Proses pertumbuhannya yang alami membuat jamur ini memiliki cita rasa yang unik dan sulit ditiru.
Di kampung kami, ada banyak jenis jamur yang tumbuh, mulai dari jamur yang aman dikonsumsi hingga jamur beracun yang bisa memabukkan. Namun, anak-anak di sini sudah terlatih untuk membedakan mana jamur yang bisa dimakan dan mana yang berbahaya. Pengetahuan ini diturunkan dari generasi ke generasi, melalui cerita dan pengalaman langsung. Mereka tahu persis ciri-ciri jamur yang aman, seperti warna, bentuk, dan aroma. Ini adalah bagian dari kearifan lokal yang membuat kami bisa menikmati alam tanpa takut keracunan.
Sayangnya, petualangan sore itu tidak membuahkan hasil yang banyak. Kami hanya berhasil menemukan dua buah jamur Tengkong. Mungkin karena hujan yang terlalu deras, atau mungkin juga karena sudah banyak orang yang lebih dulu mencari jamur di area tersebut. Tapi, bagi kami, hasil bukanlah yang utama. Yang terpenting adalah prosesnya, kebersamaan, dan cerita-cerita lucu yang tercipta selama perjalanan.
Ketika hujan mulai turun lagi dengan deras, kami memutuskan untuk pulang. Anak-anak dengan semangat berlari-lari kecil, sambil berusaha melindungi diri dari hujan dengan daun pisang yang kami temukan di pinggir sawah. Saya sendiri berjalan di belakang, memastikan tidak ada yang tertinggal atau tersesat. Meski hanya membawa dua jamur, kami pulang dengan hati gembira. Petualangan ini mungkin sederhana, tapi bagi anak-anak, ini adalah kenangan yang akan mereka bawa hingga dewasa.
Esok hari, kami berencana untuk mencoba lagi. Semoga hujan tidak terlalu deras, dan semoga kami bisa menemukan lebih banyak jamur. Tapi, apapun hasilnya, yang pasti petualangan seperti ini akan terus kami lakukan. Karena di balik setiap langkah di pematang sawah, ada pelajaran tentang alam, kebersamaan, dan kehidupan yang sederhana namun penuh makna.
Kegiatan mencari jamur di kampung kami bukan sekadar tradisi, tapi juga bentuk interaksi harmonis antara manusia dan alam. Kami belajar untuk mengenali tanda-tanda alam, seperti kemunculan laron atau kondisi tanah yang subur. Kami juga belajar untuk menghargai proses alami, seperti bagaimana jamur tumbuh dari sarang rayap atau tumpukan dedaunan yang melapuk. Semua ini adalah bagian dari kearifan lokal yang membuat kami tetap terhubung dengan alam.
Di era modern seperti sekarang, di mana segala sesuatu serba instan dan serba cepat, tradisi seperti ini menjadi semakin langka. Anak-anak lebih sering menghabiskan waktu dengan gadget daripada bermain di luar rumah. Tapi, di kampung kami, kami masih berusaha mempertahankan tradisi ini. Karena kami percaya, ada banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik dari alam.
Petualangan mencari jamur sore itu mungkin hanya sebuah cerita kecil. Tapi, bagi kami, ini adalah bagian dari identitas kami sebagai orang Batumas. Sebuah identitas yang dibangun dari hubungan erat dengan alam, dari kebersamaan, dan dari cerita-cerita kecil yang membuat hidup terasa lebih berwarna. Dan, seperti jamur yang tumbuh setelah hujan, semoga tradisi ini terus hidup dan berkembang, dari generasi ke generasi. [SR]