Sosialisasi Indeks Risiko Iklim Desa (IRID) Menuju Desa Berketahanan Iklim dan Pangan
Ketahanan pangan bukan sekadar tentang beras yang tersimpan di lumbung-lumbung rumah tangga. Ia adalah tentang bagaimana setiap keluarga bisa memastikan bahwa di meja makan mereka, ada makanan yang cukup, bergizi, dan aman konsumsi (tidak ada residu pestisida). Namun, hari ini, kita dihadapkan pada tantangan yang jauh lebih besar daripada sekadar memproduksi beras. Perubahan iklim telah mengubah segalanya. Ini bukan lagi sekadar tentang cuaca ekstrem yang datang dan pergi, melainkan tentang nasib generasi mendatang dan masa depan negeri ini. Jika sektor pertanian gagal, seluruh bangsa akan merasakan dampaknya. Tapi sebaliknya, jika pertanian kita tangguh, bangsa ini akan menang.
Kita tidak bisa lagi memandang perubahan iklim sebagai sesuatu yang jauh dan abstrak. Anomali cuaca sudah terjadi di depan mata. Musim hujan yang tak menentu, kekeringan yang berkepanjangan, banjir yang merendam sawah-sawah subur, hingga ledakan hama dan penyakit tanaman yang semakin sulit dikendalikan. Krisis air menjadi ancaman nyata, sementara regenerasi petani semakin memprihatinkan. Anak-anak muda enggan melanjutkan pekerjaan ini,karena pertanian dianggap tidak menjanjikan.
Di sinilah pentingnya Indeks Risiko Iklim Desa (IRID). IRID bukan sekadar angka atau data statistik belaka. Ia adalah alat yang memungkinkan kita memahami kerentanan setiap desa terhadap dampak perubahan iklim, sekaligus menemukan solusi yang tepat untuk memperkuat ketahanan pangan. Dengan IRID, kita bisa memetakan mana desa yang rawan kekeringan, mana yang rentan banjir, atau mana yang paling terdampak oleh serangan hama. Data ini menjadi fondasi bagi langkah-langkah adaptasi yang lebih terarah.
Bayangkan sebuah desa di mana limbah tidak lagi menjadi masalah, melainkan sumber daya yang bernilai. Di sana, sisa panen dan kotoran ternak tidak dibuang percuma, melainkan diolah menjadi pupuk organik atau bahkan biogas. Petani tidak lagi bergantung pada pupuk kimia sintetis yang harganya terus melambung, tetapi menjadi inovator yang menciptakan solusi dari apa yang ada di sekitar mereka. Di desa itu, pangan tak pernah kurang, karena sistem pertaniannya dibangun dengan prinsip keberlanjutan. Itulah mimpi kecil yang sering hinggap dalam pikiran, sebuah harapan besar untuk Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Indonesia pada umumnya.
Mimpi ini lahir dari kegelisahan. Sektor pertanian, di satu sisi, adalah penyangga kehidupan, tetapi di sisi lain, ia juga menyumbang emisi yang memperparah perubahan iklim. Penggunaan pupuk dan pestisida kimia secara masif tidak hanya mencemari tanah dan air, tetapi juga meningkatkan biaya produksi yang membebani petani. Jika kita bisa mengolah limbah pertanian dengan bijak, kita tidak hanya menyelamatkan lingkungan, tetapi juga menghemat biaya produksi. Ini adalah solusi yang menguntungkan bagi bumi sekaligus bagi kantong petani. Langkah kecil yang terkadang sering kita spelekan tapi berdampak besar.
Namun, upaya menuju desa berketahanan iklim dan pangan tidak bisa dilakukan sendirian. Dibutuhkan kolaborasi antara pemerintah, akademisi, praktisi, dan yang terpenting masyarakat desa sendiri. Sosialisasi IRID adalah langkah awal untuk membangun kesadaran bersama. Setiap desa memiliki karakteristik unik, dan solusinya pun harus disesuaikan. Ada desa yang membutuhkan sistem irigasi yang lebih efisien, ada yang perlu penguatan varietas tanaman tahan kering, dan ada pula yang harus fokus pada pengelolaan limbah.
Kita juga harus mengubah cara pandang tentang ketahanan pangan. Ketahanan pangan bukan hanya soal produksi, tetapi juga tentang akses, stabilitas, dan pemanfaatan. Desa yang berketahanan pangan adalah desa yang mampu memenuhi kebutuhan pangannya sendiri, bahkan dalam kondisi iklim yang tidak menentu. Mereka tidak bergantung pada pasokan dari luar, tetapi mampu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi.
Inovasi menjadi kunci. Teknologi tepat guna, seperti sistem panen air hujan, pertanian ramah lingkungan, atau pertanian organik, bisa menjadi solusi di tingkat lokal. Tetapi inovasi saja tidak cukup tanpa dukungan kebijakan yang memadai. Program-program pemerintah harus benar-benar menyentuh kebutuhan di lapangan, bukan sekadar proyek administratif. Pelatihan bagi petani tentang praktik pertanian cerdas iklim, pendampingan dalam pengelolaan limbah, serta akses terhadap pembiayaan yang terjangkau semua ini harus berjalan beriringan.
Kita tidak punya banyak waktu. Perubahan iklim tidak menunggu, dan dampaknya semakin nyata. Tapi saya percaya, dengan kerja keras dan kolaborasi, mimpi tentang desa yang berketahanan iklim dan pangan bukanlah hal yang mustahil. Desa-desa di NTB, dan seluruh Indonesia, bisa menjadi contoh bagaimana manusia hidup harmonis dengan alam. Di sana, petani bukan lagi pihak yang paling rentan, tetapi ujung tombak kemandirian bangsa.
Ini bukan hanya tentang pertanian. Ini tentang masa depan kita bersama. Jika kita bisa membangun ketahanan pangan dari tingkat desa, kita telah meletakkan pondasi yang kokoh untuk ketahanan nasional. Setiap biji yang ditanam dengan prinsip keberlanjutan adalah investasi untuk generasi mendatang. Setiap inovasi yang lahir dari desa adalah bukti bahwa kita tidak hanya bisa bertahan, tetapi juga tumbuh lebih kuat.
Mari kita mulai dari hal kecil. Dari satu desa. Dari satu petani yang bersedia mencoba cara baru. Dari satu keluarga yang memutuskan untuk mengolah limbahnya menjadi sesuatu yang bernilai. Perlahan tapi pasti, kita akan sampai pada visi besar, desa yang tangguh, pangan yang berkelanjutan, dan masa depan yang lebih cerah untuk NTB, dan untuk Indonesia.
Kita tidak bisa menghentikan perubahan iklim dalam semalam. Tapi kita bisa mempersiapkan diri hari ini agar besok, kita tidak lagi menjadi korban, tetapi pemenang yang mampu berdiri tegak menghadapi tantangan zaman. Inilah esensi dari kegiatan sosialisasi IRID bukan sekadar indeks, tetapi petunjuk menuju ketahanan yang yang menjadi impian kita bersama.
”Kita tidak bisa mengendalikan alam, tapi kita bisa beradaptasi. Kita bisa berinovasi.” [SR]