PAHIT NYA MENJADI PETANI GARAM (BAGIAN II)
Garam kini sudah jadi berupa butiran Kristal. Berhasilnya para petani garam bukan berarti rupiah sudah didepan mata. Ada beberapa tahapan lagi yang mesti ia lakukan. Salah satunya adalah merubah bentuk dari Kristal kasar menjadi garam halus. Memang bentuk kasar juga diterima di pasaran, akan tetapi hanya diperuntukkan bagi industry rumahan seperti usaha ikan. Garam dijadikan pengawet ikan, makanya kita tidak heran jika dalam kemasan garam tersebut tidak kita jumpai adanya tanggal kadaluarsanya, dikarenakan garam itu sendiri sudah dimasukkan menjadi pengawet alami.
Berlanjut ketahapan proses pengolahan garam kasar (krosok) menjadi garam halus. Tahapan ini tidak semudah yang kita bayangkan, hanya mengubah bentuk kasar menjadi halus. Proses yang dilalui yaitu dengan memasak garam yang sudah dihasilkan oleh petani garam, sehingga menghasilkan butiran-butiran halus.
Pada proses ini banyak menyita perhatian semua pihak terutama para pemerhati lingkungan. Pada proses perebusan garam ini dianggap dapat merusak lingkungan. Alasannya adalah kayu yang digunakan untuk proses perebusan diduga berasal dari hutan, sehingga jika proses seperti ini terus menerus dilakukan maka akan membutuhkan kayu dengan jumlah yang tidak sedikit untuk memenuhi kebutuhan para petani garam yang melakukan perebusan dan diperkirakan akan terjadi pengundulan hutan . Waduh… sudah harga tidak seberapa, rasa lelah sangat terasa, kini mereka dihadapkan dengan permasalahan yang cukup besar yaitu sebagai salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca yang berimbas pada dampak perubahan iklim. Begitu berat tantangan menjadi petani garam.
Pada akhir tulisan ini saya ingin mengajak kita semua untuk sekedar mengetahui jeritan dan derita yang mereka rasakan selama menjadi petani garam. Jika mereka selalu yang dipermasalahankan terus bagaimana dengan mereka yang selama ini hidup penuh dari kata cukup. Mulai dari awal diterpa masalah kini tahap akhir dihadapkan dengan masalah lingkungan.
Saya ingin mengajak kita semua untuk merenung sejenak, menyadari, realita yang terjadi dikeseharian kita. Jika kita perhatikan dengan seksama, selalu orang miskin yang dibebankan dengan tuduhan merusak lingkungan dan meningkatkan persoalan perubahan iklim. Terus bagaimana dengan mereka yang memiliki ekonomi diatas rata-rata?. Apakah mereka tidak merusak lingkungan? Pernahkah kita melihat kondisi mereka (petani garam)?. Miris memang, jika bertandang kelokasi ladang mereka. Dengan alat seadanya mereka gunakan untuk menaruh asa, jangankan motor, sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari saja mereka sulit. Berbeda dengan orang-orang kaya, yang tiap rumahnya dipenuhi dengan mobil-mobil mewah dan bahkan setiap orang yang menghuni rumah, memiliki kendaraan masing-masing. Padahal kendaraan baik roda dua maupun roda empat yang mereka miliki juga sebagai penyumbang gas rumah kaca.
Tidak hanya dereta motor dan mobil mewah, rumah dengan arsitektur berbalut kayu kerap kali kita jumpai juga lepas dari perhatian mereka. Pertanyaannya adalah, dari mana kayu itu berasal??? Silahkan dijawab sendiri.
Memang petani garam selalu dilupakan, padahal tanpa beliau masakan tidak enak. Petani garam, nasib mu tak semanis asa mu. [SR]