Pendidikan Berkualitas Hanya Untuk Anak Kota
Bersyukurlah kalian, wahai anak kota. Karena kalian tidak terlahir sebagai anak desa. Iya, kami lah anak desa yang sering disamaratakan, tanpa melihat apa yang kami hadapi dan rasakan setiap harinya. Kami tidak tahu apa itu alat-alat canggih seperti yang kalian gunakan dengan mudah. Kami hanya bisa menulis asa pada selembar kertas di buku tulis halaman belakang, karena halaman depan sudah penuh dengan coretan-coretan pelajaran yang harus kami hafal.
Kami tidak keberatan jika kalian sudah jauh mengenal apa yang belum kami kenal. Kami hanya sibuk untuk mengikuti apa yang samarata, tapi sebenarnya tidak merata seperti yang kalian dapatkan. Ketika kalian sudah fasih menggunakan laptop, tablet, atau smartphone, kami masih berjuang memahami tombol-tombol komputer yang tiba-tiba menghilangkan huruf A yang baru saja kami tekan. Ujian berbasis komputer? Bagai hantu yang menakutkan bagi kami.
Ketika surya mulai menyapa di pagi hari, kami galau memikirkan apakah hari ini harus mandi atau tidak. Air yang terbatas membuat kami harus memilih, satu gayung air untuk mandi atau lebih baik digunakan untuk memasak. Kami memilih yang kedua, karena perut yang keroncongan lebih menyiksa daripada badan yang sedikit lengket.
Berangkat sekolah, rasa panas mulai menusuk di setiap kulit. Kami berjalan dengan kaki yang hanya terlapisi sandal jepit. Tidak ada sepatu mahal, tidak ada kendaraan bermotor yang mengantar. Kami tidak mengeluh, kami tidak berpeluh. Justru itu kami jadikan hiburan demi Ibu dan Bapak kami yang berharap penuh pada kami. Mereka berharap, suatu hari nanti, kami bisa menjadi lebih baik dari mereka.
Kami tidak ambil pusing tentang seberapa nyaman ruangan belajar. Pun tidak mengeluh kala panas datang, meski mungkin di sana kalian tinggal pilih dan atur dingin atau hangat suhu ruangan. Kami hanya bersyukur bisa duduk di bangku sekolah, meski atapnya bocor ketika hujan dan dindingnya retak ketika angin bertiup kencang.
Tahu kah kalian, wahai anak kota? Ketika kalian kebingungan akan hang out kemana sepulang sekolah, kami anak desa justru bertanya-tanya, masih kah tersisa nasi di atas meja? Karena tahu kah kalian, wahai anak kota? Bekal sekolah kami bukan lembaran-lembaran kertas bernominal. Bekal kami hanya pesan. Pesan dari Ibu yang berbisik, “Belajar yang rajin, Nak. Jangan lupa berdoa.”
Kami tidak iri dengan kasih sayang Ibu dan Bapak kalian yang selalu tahu jam berapa kalian pulang dan selalu menunggu di depan gerbang sekolah. Karena kami tahu, Ibu dan Bapak kami pun sama sayangnya. Hanya saja, Ibu dan Bapak kami keluyuran banting tulang entah kemana, sejak pagi hingga petang tiba. Mereka bekerja keras demi kami, si anak yang diharapkan untuk berguna bagi agama dan bangsa.
Di rumah, kami ceritakan fotokopi materi yang harus dibayar di sekolah. Hanya kata “sabar” sebagai jawaban. Sabar karena uang yang pas-pasan. Sabar karena kami harus berjuang lebih keras untuk mendapatkan apa yang kalian dapatkan dengan mudah.
Ketika Teknologi Menjadi Tantangan
Kalian mungkin tidak akan pernah mengerti bagaimana rasanya ketika kami pertama kali melihat komputer. Tombol-tombolnya yang banyak, layarnya yang besar, dan kursor yang bergerak-gerak membuat kami bingung. Huruf A yang baru saja kami tekan, seketika hilang, seketika ada. Ujian yang katanya berbasis komputer bagai hantu yang menakutkan. Kami tidak tahu harus mulai dari mana, tapi kami dipaksa untuk hafal.
Kami tidak punya pilihan. Kami harus bisa, karena itu adalah syarat untuk lulus. Tapi bagaimana kami bisa, jika kami hanya punya waktu satu jam seminggu untuk belajar komputer? Itu pun komputer yang sudah tua, sering hang, dan kadang-kadang tidak bisa menyala sama sekali.
Kalian mungkin tertawa melihat kami yang gagap teknologi. Tapi ingat, ini bukan karena kami malas atau tidak mau belajar. Ini karena kami tidak punya akses yang sama seperti kalian. Kami tidak punya laptop di rumah, tidak punya internet cepat, dan tidak punya orang tua yang bisa mengajari kami.
Gedung sekolah kalian mungkin megah, dengan ruangan ber-AC, meja dan kursi yang nyaman, serta perpustakaan yang lengkap. Kami? Kami hanya punya ruangan kelas yang sederhana. Atapnya bocor ketika hujan, dindingnya retak, dan lantainya tidak rata. Tapi kami bersyukur, karena setidaknya kami masih punya tempat untuk belajar.
Kami tidak mengeluh tentang fasilitas yang kurang. Kami hanya berharap, suatu hari nanti, kami bisa merasakan apa yang kalian rasakan. Kami ingin tahu bagaimana rasanya belajar di ruangan ber-AC, bagaimana rasanya membaca buku di perpustakaan yang lengkap, dan bagaimana rasanya menggunakan laboratorium yang canggih.
Tapi kami tahu, itu semua hanya mimpi. Mimpi yang mungkin tidak akan pernah terwujud. Karena negeri ini sepertinya hanya menganggap kalian, anak kota, sebagai tumpuan generasi bangsa. Kami, anak desa, hanya dianggap sebagai pelengkap.
Ketika Harapan Menjadi Beban
Ibu dan Bapak kami selalu bilang, “Belajar yang rajin, Nak. Supaya bisa jadi orang sukses.” Tapi mereka tidak tahu, betapa beratnya beban itu. Beban untuk menjadi yang terbaik, meski dengan fasilitas yang seadanya. Beban untuk membahagiakan mereka, meski kami sendiri sering merasa lelah dan putus asa.
Kami tidak ingin mengecewakan mereka. Kami ingin membuktikan, bahwa meski kami anak desa, kami juga bisa sukses. Tapi jalan menuju kesuksesan itu tidak mudah. Kami harus berjuang lebih keras, karena kami tidak punya privilege seperti kalian.
Kami tidak iri dengan kalian. Kami hanya ingin dianggap sama. Sama dalam hal kesempatan, sama dalam hal fasilitas, dan sama dalam hal perhatian. Karena kami juga punya mimpi, kami juga punya harapan, dan kami juga punya kemampuan.
Ini bukan lah keluhan. Ini hanya sepenggal tulisan untuk mengingatkan. Bahwa kalian anak kota adalah anak yang bagi kami sempurna. Gedung sekolah dan fasilitas yang luar biasa. Apa iya, negeri ini menganggap hanya kalian lah yang menjadi tumpuan generasi bangsa.
Kami tidak meminta banyak. Kami hanya ingin dianggap ada. Dianggap sebagai bagian dari generasi bangsa yang juga punya hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Kami tidak ingin terus-terusan dipandang sebelah mata, hanya karena kami terlahir sebagai anak desa.
Kami punya mimpi, sama seperti kalian. Mimpi untuk menjadi dokter, insinyur, guru, atau apapun yang bisa membuat kami berguna bagi agama dan bangsa. Tapi mimpi itu akan sulit terwujud, jika kami terus-terusan diabaikan.
Tapi sudahlah, mungkin ini hanya guyonan semata. Guyonan tentang anak desa yang harus berjuang lebih keras, sementara anak kota bisa dengan mudah mendapatkan apa yang mereka inginkan. Guyonan tentang anak desa yang harus memilih antara mandi atau memasak, sementara anak kota bisa mandi air hangat setiap hari.
Tapi di balik guyonan itu, ada kritik yang tajam. Kritik tentang ketidakadilan, tentang kesenjangan, dan tentang harapan yang seringkali diabaikan. Kritik yang mungkin tidak akan pernah didengar, tapi setidaknya sudah kami sampaikan.
Jadi, bersyukurlah kalian, wahai anak kota. Karena kalian tidak terlahir sebagai anak desa. Tapi ingat, kami juga punya mimpi. Mimpi yang mungkin suatu hari nanti akan terwujud, jika negeri ini mulai memperhatikan kami. [SR]