CeritaPertanian

Anak Petani Nggak Mau Jadi Petani, Anak Politisi Malah Betah Jadi Politisi Kok Bisa???

Ada sebuah fenomena yang bikin geleng-geleng kepala di negeri ini. Fenomena yang sebenarnya sudah lama terjadi, tapi kayaknya makin kentara aja belakangan ini. Anak petani nggak mau jadi petani, sementara anak politisi malah betah banget jadi politisi kayak orang tuanya. Kayaknya, ada yang salah dengan sistem kita, atau mungkin dengan cara kita memandang profesi-profesi tertentu. Tapi, sebelum kita bahas lebih jauh, mari kita mulai dengan sebuah cerita kecil yang mungkin bisa jadi gambaran nyata dari fenomena ini.

Budi adalah anak seorang petani di sebuah desa di Indonesia. Setiap pagi, sebelum matahari terbit, Budi sudah harus bangun untuk membantu ayahnya ke sawah. Panas terik, lumpur, bau pupuk dan pestisida adalah teman sehari-harinya. Tapi, Budi punya mimpi besar. Dia nggak mau jadi petani. Dia pengen jadi PNS, kerja di kota, duduk di kantor ber-AC, dan punya gaji tetap. “Aku nggak mau kayak bapak, kerja keras tapi hasilnya cuma cukup buat makan sehari-hari,” kata Budi suatu hari pada temannya.

Sementara itu, di kota yang sama, ada Andi. Andi adalah anak seorang politisi. Sejak kecil, Andi sudah terbiasa dengan dunia politik. Dia sering ikut ayahnya ke acara-acara resmi, ketemu orang-orang penting, dan lihat bagaimana ayahnya bisa punya pengaruh besar di masyarakat. Andi punya mimpi juga: jadi politisi kayak ayahnya. “Aku pengen kayak bapak, bisa bantu orang banyak, sekalian punya jabatan yang dihormati,” kata Andi pada temannya.

Dua anak, dua mimpi, tapi dengan jalan yang sangat berbeda. Budi berusaha keras belajar, dapat beasiswa, dan akhirnya kuliah di kota. Dia berhasil jadi PNS, kerja di pemerintahan, dan punya kehidupan yang lebih mapan daripada ayahnya. Tapi, sawah yang dulu dia tinggalkan? Sawah itu akhirnya dijual karena nggak ada yang mau ngurus. Ayah Budi pun pensiun dengan sedikit tabungan, dan akhirnya hidup pas-pasan.

Sementara Andi? Dia kuliah di jurusan hukum, ikut organisasi mahasiswa, dan mulai masuk ke dunia politik. Setelah lulus, dia langsung jadi calon legislatif dengan dukungan penuh dari ayahnya. Andi menang, dan sekarang dia jadi politisi muda yang punya masa depan cerah. Ayahnya bangga, dan Andi pun merasa sudah menemukan jalan hidupnya.

Kenapa Anak Petani Nggak Mau Jadi Petani?

Nah, dari cerita Budi dan Andi, kita bisa lihat ada pola yang menarik. Anak petani nggak mau jadi petani, sementara anak politisi malah betah jadi politisi. Kenapa ya?

Mari kita lihat dari sisi ekonomi. Jadi petani itu nggak menjanjikan secara finansial. Hasil pertanian seringkali nggak sebanding dengan usaha yang dikeluarkan. Harga panen komoditi pertanian yang fluktuatif, biaya pupuk dan pestisida yang mahal, plus risiko gagal panen karena cuaca atau hama, bikin jadi petani itu kayak judi. Anak-anak petani yang melihat langsung perjuangan orang tuanya pasti mikir, “Ngapain juga aku susah-susah jadi petani kalau akhirnya hidup susah juga?”

Ada stigma sosial yang melekat pada profesi petani. Di masyarakat kita, petani sering dianggap sebagai profesi “kelas bawah”. Nggak heran kalau anak-anak petani pengen jadi insinyur, dokter, atau pekerja kantoran. Mereka pengen punya status sosial yang lebih tinggi, pengen dihormati, dan pengen punya kehidupan yang lebih baik daripada orang tuanya.

Akses pendidikan dan informasi yang lebih baik bikin anak-anak petani punya wawasan yang lebih luas. Mereka tahu bahwa ada banyak profesi lain yang lebih menjanjikan daripada jadi petani.

Lalu, Kenapa Anak Politisi Betah Jadi Politisi?

Sekarang, mari kita lihat sisi lain dari fenomena ini: anak politisi yang betah jadi politisi. Kenapa ya?

Jadi seorang politisi itu menjanjikan secara finansial. Pendapatan mungkin standar dan bahkan tidak menentu, tapi ada banyak “tambahan” yang bisa didapat. Dari proyek-proyek pemerintah, bantuan sosial, sampai uang “pelicin” yang sudah tidak jadi rahasia lagi. Anak-anak politisi yang sejak kecil sudah terbiasa dengan gaya hidup mewah pasti mikir, “Ngapain juga cari kerja lain kalau jadi politisi bisa kaya?”

Ada jaringan dan koneksi yang sudah terbangun sejak kecil. Anak politisi biasanya punya akses ke orang-orang penting, baik di pemerintahan maupun di dunia bisnis. Mereka juga punya modal sosial yang besar, seperti nama baik keluarga dan dukungan dari partai politik. Jadi, masuk ke dunia politik itu kayak jalan tol yang sudah mulus, tinggal gas aja.

Ada faktor “warisan”. Politik di Indonesia seringkali dianggap sebagai bisnis keluarga. Jabatan politik kayak jadi “warisan” yang bisa diwariskan dari orang tua ke anak. Jadi, nggak heran kalau anak politisi merasa punya “tugas” untuk meneruskan “tugas” keluarga.

Dari fenomena ini, kita bisa lihat ada yang salah dengan sistem kita. Pertama, sistem pertanian kita nggak mendukung petani kecil. Petani seringkali jadi korban dari kebijakan pemerintah yang nggak pro-petani, seperti impor beras yang bikin harga gabah jatuh, atau subsidi pupuk yang nggak tepat sasaran. Akibatnya, profesi petani jadi nggak menarik bagi generasi muda. Atau yang lebih sadih permasalahan harga yang tidak menentu justru arahnya lebih menyakiti perasaan petani.

Sistem politik kita terlalu oligarkis. Politik di Indonesia dikuasai oleh segelintir orang yang punya kekuasaan dan uang. Anak-anak politisi dengan mudah masuk ke dunia politik karena mereka punya akses dan modal yang besar. Sementara, orang-orang dari kalangan biasa susah banget masuk ke dunia politik, kecuali punya backing yang kuat.

Nah, setelah ngomongin masalahnya, sekarang kita harus mikir solusinya. Apa sih yang bisa kita lakukan untuk mengubah fenomena ini?

Pemerintah harus bikin kebijakan yang pro-petani. Misalnya, dengan memberikan subsidi yang tepat sasaran, memperbaiki infrastruktur pertanian, dan menjamin harga panen yang stabil. Dengan begitu, profesi petani jadi lebih menjanjikan dan menarik bagi generasi muda.

PR kita bersama untuk mengubah stigma sosial terhadap profesi petani. Petani itu profesi yang mulia, karena mereka yang menghasilkan makanan untuk kita semua. Kita harus menghargai dan menghormati profesi ini, sehingga anak-anak petani pun bangga jadi petani.

Fenomena anak petani nggak mau jadi petani dan anak politisi betah jadi politisi adalah cerminan dari ketimpangan sosial dan sistem yang nggak adil. Tapi, perubahan nggak akan terjadi kalau kita cuma ngomong doang. Butuh aksi nyata dari semua pihak, mulai dari pemerintah, partai politik, sampai masyarakat sendiri.

Tapi, jujur aja, saya pesimis. Perubahan itu susah, apalagi di negara yang sistemnya sudah begitu mengakar kayak Indonesia. Tapi, siapa tahu, suatu hari nanti, ada anak petani yang bangga jadi petani, dan ada anak politisi yang memilih jadi petani. Mimpi sih, tapi siapa tahu? [SR]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *