Pertanian

Menjadi Petani di Indonesia Harga Naik Turun Seperti “Mood Swing”

Hidup sebagai petani itu kayak roller coaster, tapi bukan di taman hiburan, melainkan di sawah yang kadang banjir, kadang kekeringan. Yang bikin pusing tujuh keliling bukan cuma cuaca yang suka usil, tapi juga harga hasil panen yang naik-turun lebih cepat daripada status hubungan anak muda jaman now. Kalau sudah bicara harga, rasanya ingin marah-marah kayak orang kesurupan, tapi mau marah ke siapa? Ke pemerintah? Ke tengkulak? Atau ke diri sendiri yang memilih jadi petani?

Saya ini cuma petani kecil, bukan konglomerat yang punya ribuan hektar sawah. Saya cuma punya sepetak tanah, cangkul, dan mimpi besar agar hasil panen bisa menghidupi keluarga. Tapi, mimpi itu kadang buyar ketika harga gabah atau sayuran anjlok sampai ke titik terendah. Bayangkan, jerih payah berbulan-bulan, banting tulang dari pagi buta sampai matahari terbenam, eh, hasilnya cuma penuh dengan kehawatiran. Itu pun kalau tidak keburu habis karena harus bayar utang pupuk dan Pestisida.

Harga itu ibarat pasangan yang tidak setia. Kadang setia di awal musim tanam, janji manis akan membeli hasil panen dengan harga tinggi. Tapi, begitu panen tiba, eh, harga malah jatuh seperti daun kering di musim kemarau. Tengkulak datang dengan senyum manis, menawarkan harga yang bikin hati miris. Mau tidak mau, kita harus terima karena tidak punya pilihan. Kalau tidak dijual, hasil panen bisa busuk. Kalau dijual, untungnya cuma cukup buat jajan anak.

Pemerintah bilang, petani adalah pahlawan pangan. Tapi, kok rasanya pahlawan ini hidupnya seperti diplot twist sinetron? Susah payah menanam padi, merawatnya seperti anak sendiri, eh, giliran panen malah dapat harga yang bikin menangis. Padahal, tanpa petani, siapa yang akan menanam padi? Siapa yang akan menyediakan beras untuk makan sehari-hari? Tapi, kenapa nasib petani seringkali seperti anak tiri yang diabaikan?

Saya tidak meminta lebih. Saya cuma ingin harga stabil, minimal bisa menutupi biaya produksi dan memberi sedikit keuntungan. Tidak perlu harga melambung tinggi seperti harga saham, yang penting stabil. Stabil itu artinya kita bisa merencanakan hidup dengan lebih baik. Tidak perlu khawatir apakah bulan depan masih bisa beli pupuk atau tidak. Tidak perlu bingung apakah anak-anak masih bisa terus sekolah atau harus turun ke sawah membantu orang tua.

Kalau harga stabil, hidup petani akan lebih tenang. Kita bisa fokus meningkatkan kualitas hasil panen, mencoba varietas baru, atau bahkan mengembangkan usaha tani yang lebih modern. Tapi, bagaimana bisa fokus kalau setiap musim panen hati selalu deg-degan menunggu harga yang kadang bikin senyum, kadang bikin sesenggukan?

Pemerintah sering bilang akan membantu petani, tapi bantuannya kadang seperti obat tidur. Datangnya terlambat, efeknya pun tidak terasa. Program-program yang digembar-gemborkan seringkali hanya jadi wacana di atas kertas. Di lapangan, petani tetap bergelut dengan masalah klasik: harga yang tidak pasti, biaya produksi yang tinggi, dan aksas pasar yang terbatas.

Saya tidak tahu harus menyalahkan siapa. Mungkin ini memang takdir menjadi petani di negeri yang subur tapi penuh ketidakpastian. Tapi, sebagai petani, saya punya harapan besar. Saya berharap suatu hari nanti, harga hasil panen akan stabil dan adil. Stabil artinya tidak ada lagi fluktuasi harga yang bikin pusing. Adil artinya petani mendapat bagian yang pantas dari jerih payahnya.

Saya juga berharap pemerintah lebih serius memperhatikan nasib petani. Tidak hanya dengan program-program yang sifatnya temporer, tapi dengan kebijakan yang benar-benar melindungi petani dari permainan harga. Misalnya, dengan menetapkan harga dasar yang wajar, membuka aksas pasar yang lebih luas, atau memberikan insentif bagi petani yang berinovasi.

Selain itu, saya berharap masyarakat lebih menghargai hasil pertanian. Kadang, kita lupa bahwa setiap butir nasi yang kita makan adalah hasil keringat dan kerja keras petani. Tanpa petani, kita mungkin harus impor beras dari negara lain, dan harganya pasti lebih mahal. Jadi, mari kita lebih menghargai hasil pertanian lokal, karena di balik setiap makanan yang kita nikmati, ada jerih payah petani yang tidak kenal lelah.

Menjadi petani itu berat, tapi saya bangga menjadi bagian dari mereka yang menjaga ketahanan pangan negeri ini. Saya hanya berharap, suatu hari nanti, jerih payah ini akan dihargai dengan harga yang stabil dan kehidupan yang lebih baik. Karena, tanpa petani, siapa yang akan menanam padi? Siapa yang akan menyediakan makanan untuk kita semua?

Jadi, mari kita bersama-sama mendukung petani, bukan hanya dengan kata-kata, tapi juga dengan tindakan nyata. Karena, petani adalah pahlawan pangan yang sebenarnya. Dan, pahlawan pun butuh dukungan untuk terus bertahan di tengah segala ketidakpastian. [SR]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *