Pertanian

Petugas Pengendali OPT Sang Pengaman Pangan yang Terlupakan

Halo, perkenalkan, saya adalah Petugas Pengendali Organisme Pengganggu Tanaman (POPT). Mungkin Anda nggak kenal saya, mungkin juga Anda pernah melihat saya sekilas di tengah sawah, pakai baju lengan panjang, topi caping, lengkap dengan rompi yang bertuliskan POPT dengan alat jaring serangga. Atau mungkin juga, Anda lebih sering mendengar nama saya waktu ada wabah hama yang mengancam panen dan dampak perubahan iklim (banji/kering).

Begitulah nasib kami, para pengendali OPT. Kami ada, tapi seolah tidak ada. Kami berjuang, tapi sering lupa disebut. Kami bekerja, tapi jarang diapresiasi. Sebuah profesi yang lebih banyak dikenal hanya saat darurat, lalu ditinggalkan begitu saja setelah hama terkendali dan panen berhasil.

Tugas Kami, Seberat Kisah Cintamu yang Bertepuk Sebelah Tangan. Bicara soal tugas, sebenarnya pekerjaan kami itu gampang-gampang susah. Gampang kalau cuma dijelaskan di atas kertas, susah kalau harus langsung turun ke lapangan. Kami ini semacam garda terdepan pertanian, menjaga tanaman agar bisa tumbuh sehat tanpa diganggu hama maupun penyakit.

Bayangkan saja, kalau tanaman itu manusia, kami ini dokter yang harus mendiagnosa penyakit, mencari penyebabnya, lalu meresepkan obatnya. Tapi bedanya, dokter punya rumah sakit yang nyaman dengan AC, kami punya sawah yang panasnya bisa bikin hitam dalam sehari. Dokter dapat pasien yang datang sendiri ke klinik, kami yang harus nyari sendiri penyakitnya di tengah hektaran ladang melakukan pengamtan patroli berkeliling dengan luasan wilayah kerja 1 POPT 1 kecamatan dan bahkan temna kami ada yang megang 3 kecamatan. Dokter dapat ucapan terima kasih dari pasien yang sembuh, kami? Kami hanya dapat debu, keringat, dan janji-janji apresiasi yang tak pernah datang.

Pernahkah Anda menonton acara panen di televisi yang menyiarkan berita keberhasilan panen raya? Pemandangan petani tersenyum lebar, pejabat pemerintah datang dengan batik terbaiknya, pidato panjang penuh optimisme tentang swasembada pangan. Tapi, pernahkah ada yang menyebut peran kami di sana? Oh tentu tidak. Kami ini seperti figuran dalam film sukses, yang tidak masuk kredit di akhir tayangan.

Padahal, kalau bukan karena kami yang tiap hari jungkir balik memeriksa tanaman, mengontrol serangan hama, menyusun strategi pengendalian, mengeluarkan rekomendasi pengendalian, panen itu mungkin tinggal angan-angan. Tapi ya sudahlah, kami sudah terbiasa. Kami tahu tempat kami: ada di balik layar, tidak ikut tepuk tangan saat film berakhir.

Dapat Apresiasi???

Oh, jangan tanya soal apresiasi dari pemerintah. Kami ini kalau mendengar janji dari kementerian, rasanya seperti mendengar janji mantan yang bilang, “Aku bakal berubah kok, kali ini serius.” Iya, percaya sebentar, lalu akhirnya kecewa lagi. Dulu, katanya hak POPT dan PPL sama. Tapi ya, semua hanya sekadar omon-omon di atas panggung.

Bahkan, untuk sekadar disebut dalam acara panen raya pun kami harus rela gigit jari. Jangan harap ada penghargaan atau tunjangan tambahan. Yang ada, tugas makin bertambah, alat makin terbatas, dan hama makin cerdas berevolusi. Kami yang harus berpikir keras bagaimana mengendalikan tanpa merusak ekosistem, tapi perhatian dari pemerintah? Jawab sendiri lah…….

Lalu, kenapa kami masih bertahan? Kalau memang kerjaan ini sepi apresiasi, kenapa masih mau jungkir balik di lapangan? Jawabannya sederhana: karena kami mencintai pekerjaan ini. Kami tahu, kalau bukan kami, lalu siapa? Kami sadar, tanpa kami, petani akan lebih susah mengatasi hama yang makin lama makin bandel. Kami paham, kalau kami menyerah, maka yang rugi bukan hanya petani, tapi juga masyarakat yang bergantung pada hasil panen. Satu-satunya apresiasi yang kami dapat mungkin hanya dari petani yang tersenyum lega saat sawahnya selamat dari serangan wereng atau hama penyakit lainnya.

Jadi, untuk para pemangku kebijakan di kementerian sana, sesekali, ingatlah kami. Tidak usah berlebihan, cukup dengan mengakui peran kami dalam keberhasilan pertanian. Cukup dengan memastikan kami mendapat alat yang layak, pelatihan yang cukup, dan tentu saja, kesamaan hak yang sepadan. Jangan hanya sibuk berpidato soal swasembada pangan tanpa melihat siapa saja yang benar-benar bekerja keras di lapangan.

Dan kalau memang apresiasi terasa berat, ya setidaknya, sebutlah nama kami saat panen raya. Jangan biarkan kami terus menjadi pahlawan tanpa nama di ladang yang terlupakan. [SR]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *