Nambang Fosfor Di Lahan Kering Dengan Bakteri
Seiring meningkatnya pembangunan, dan pertambahan jumlah penduduk, menyebabkan terjadinya penyempitan lahan pertanian. Berbagai kepentingan yang dilakukan pemerintah dalam rangka pembangunan daerah untuk menumbuh kembangkan kawasan industri, permukiman, serta berbagai sarana dan prasarana guna mendukung kegiatan ekonomi dan ketahanan pangan yang pada akhirnya menuntut kebutuhan akan lahan. Luas lahan pertanian di wilayah tersebut tentunya akan mengalami penyempitan, akibat adanya alih fungsi lahan. Meningkatnya alih fungsi lahan, berdampak pada penurunan produktifitas lahan, sehingga mengharuskan pemanfaatan lahan kering secara optimal, sebagai solusi mengatasi permasalahan alih fungsi lahan.
Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), mempunyai potensi lahan kering yang cukup luas yaitu sekitar 1.814.340 ha (±83,04 %) dari luas lahan pertanian NTB (data dari dinas pertanian) dan memiliki potensi dalam pengembangan berbagai komoditas tanaman pangan dan hortikultura. Lahan kering ± 31% sudah termanfaatkan (data dari dinas pertanian), sehingga pengembangan lahan kering menjadi prioritas utama dalam pembangunan pertanian di NTB, serta upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional. Potensi lahan kering sebagai tempat pengembangan beberapa komoditas seperti jenis tanaman palawija (jagung, kacang tanah, dan kedelai). Upaya untuk meningkatkan produktivitas lahan tersebut yaitu penerapan teknologi dalam bidang pertanian. Salah satu teknologi tersebut adalah pemanfaatan pupuk hayati berupa bakteri pelarut fosfat.
Fosfor (P) merupakan unsur hara makro kedua setelah N yang mutlak dibutuhkan oleh mikroorganisme dan tanaman. Penambahan unsur P pada tanaman, umumnya petani memberikan dalam bentuk pupuk SP-36 (Super Phosphat 36) yang banyak terjual di pasaran karena penggunaannya yang praktis. Pupuk SP-36 dibuat dalam bentuk pupuk P larut air dari proses acidulasi fosfat alam dengan asam fosfat sehingga memiliki kadar P2O5 lebih tinggi bila dibandingkan dengan kadar P2O5 total fosfat alam. Dalam hal ini penggunaan pupuk SP-36 akan meningkatkan biaya produksi pertanian yang disebabkan oleh mahalnya harga pupuk tersebut akibat dari bahan baku pembuatan Pupuk P masih dari impor dan adanya penghapusan subsidi pupuk oleh pemerintah.
Efisiensi pemupukan P pada tanah pertanian di Indonesia umumnya sangat rendah, sehingga penggunaan pupuk fosfat jika dilakukan secara terus menerus dapat menyebabkan adanya penumpukan residu P di dalam tanah yang mengakibatkan terjadi kekahatan unsur hara lain dan pemasaman tanah sehingga produksi lahan semakin menurun. Terkait dengan ini, sebagian besar lahan sawah di Indonesia telah jenuh akan P, hal ini di akibatkan oleh perilaku petani dalam mengaplikasikan pupuk P, tanpa memperhatikan dosis yang diaplikasikan. Mengingat masalah tersebut, perlu adanya suatu upaya untuk mengatasinya, yaitu dengan memanfaatkan bakteri pelarut fosfat untuk menambang P yang terakumulasi di dalam tanah.
Bakteri pelarut fosfat (BPF) adalah bakteri yang melarutkan mineral fosfat anorganik (flour apatit) menjadi H2PO4–1, HPO42-, dan PO43- yang tersedia bagi tanaman. BPF dipilih untuk menambang unsur hara P didalam tanah sehingga tidak terjadi penumpukan P akibat dari pemupukan yang tidak berimbang. BPF berpeluang untuk di eksploitasi sebagai salah satu organisme yang dapat diaplikasikan untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan fosfat alam (batuan fosfat), sisa-sisa tanaman yang melapuk, dan pemupukan fosfor (P) anorganik. Hal ini dikarenakan bakteri pelarut fosfat dapat menghasilkan asam-asam organik seperti asam formiat, sitrat, glutamat, oksalat propionat, laktat, glioksalat, fumarat, dan suksinat. Asam-asam tersebut mampu mengekstraki P dari ikatannya dengan Fe, Al, Ca, dan Mg, sehingga P dapat tersedia bagi tanaman. Pemanfaatan bakteri pelarut fosfat ini diharapkan mampu dalam memecahkan masalah pemupukan P yang terjadi di lahan pertanian.