Nalar dan Etika Konten Kreator Tersandera oleh Cuan Meta
Ada yang bilang, dunia konten kreator itu seperti pasar malam. Semua orang berteriak, berusaha menarik perhatian, dan saling sikut untuk mendapatkan tempat terbaik. Tapi, bedanya, di pasar malam kita masih bisa menemukan stand makanan enak atau permainan seru. Sedangkan di dunia konten kreator, terutama di Facebook, yang kita temukan seringkali adalah… yah, entah apa. Mulai dari foto jenazah yang diumbar demi likes, goyang erotis yang katanya “seni”, hingga anak-anak yang dieksploitasi tanpa edukasi. Semua demi satu hal yaitu cuan. Semua bisa tinggal nyalakan tombol record dan upload…..
Saya tidak tahu harus tertawa atau menangis ketika melihat seorang ibu rumah tangga yang juga konten kreator mengunggah foto jenazah suaminya di grup saling support Facebook. Ya, Anda tidak salah baca. Jenazah. Suaminya sendiri. Dengan hashtag yang seolah-olah ingin bilang, “Lihatlah, aku sedang berduka, tapi jangan lupa kasih like dan share ya!”
Mungkin nalarnya tertutup oleh sahw… eh, maksud saya, s@hw@t dolar. Ya, s@hw@t dolar itu memang bisa membuat orang lupa diri. Lupa etika, lupa batasan, bahkan lupa bahwa ada jenazah yang seharusnya dihormati, bukan dijadikan konten. Tapi, sudahlah, mari kita anggap ini sebagai bagian dari “kreativitas” yang mungkin hanya bisa dipahami oleh mereka yang sudah terlalu lama terpapar algoritma Facebook. Heee…. udah berapa cuan kau dapat, hingga kau lupa segalanya
Etika dalam bermedia sosial sepertinya sudah menjadi barang langka. Bukan hanya di kalangan konten kreator, tapi juga di kalangan pengguna biasa. Tapi, konten kreator—terutama yang mengklaim diri sebagai “profesional” seharusnya punya tanggung jawab lebih besar. Mereka bukan hanya membuat konten untuk diri sendiri, tapi juga untuk dikonsumsi publik. Sayangnya, tanggung jawab itu seringkali hilang begitu saja ketika ada embel-embel “cuan” di depan mata.
Contohnya? Ya, tadi. Foto jenazah suami yang diunggah ke grup saling support. Saya tidak tahu apa yang ada di pikiran si ibu saat itu. Mungkin dia berpikir, “Ini kan grup saling support, jadi harusnya mereka support aku dong!” Atau mungkin, “Ini konten langka, pasti viral!” Tapi, apa iya kita harus mengorbankan etika dan privasi orang tersayang kita yang sudah meninggal hanya untuk mendapatkan engagement?
Belum lagi konten-konten lain yang sama absurdnya. Ada yang mengupload video anaknya menari dengan gerakan yang tidak pantas untuk usianya, dengan caption, “Anakku lucu ya, jangan lupa follow akunnya!” Atau yang lebih parah, konten-konten berbau pornografi yang dibungkus dengan dalih “seni” atau “edukasi”. Ya, edukasi tentang apa? Tentang bagaimana cara mendapatkan warning dari Facebook?. Dan bahkan banyak juga konten creator flexing ala-ala sultan biar terkesan hasil fb pro nieee bosssss, jadi para pengikut terkesimak dan merasa kagum, padahal itu kebohongan yang di budidayakan..
Saling Support atau Saling Menjerumuskan?
Grup saling support di Facebook seharusnya menjadi tempat untuk saling menginspirasi dan membantu sesama konten kreator. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Grup-grup ini seringkali menjadi tempat para konten kreator saling berlomba untuk membuat konten yang paling norak, paling heboh, dan maaf paling tidak bermutu.
“Upload kontenmu di sini, jangan lupa like dan comment konten teman-teman yang lain!” Begitu bunyi aturan yang seringkali terpampang di deskripsi grup. Tapi, apa yang terjadi? Konten-konten yang diupload seringkali tidak melalui filter sama sekali. Mulai dari konten yang melanggar hak cipta, konten yang tidak pantas, hingga konten yang seharusnya tidak pernah ada di internet.
Dan parahnya, semua itu didukung oleh anggota grup lainnya. “Wah, keren banget kontennya!” “Mantap, lanjutkan!” “Semangat terus ya!” Padahal, konten yang diupload jelas-jelas melanggar etika dan aturan bermedia sosial. Tapi, karena ada embel-embel “saling support”, semua seolah-olah menjadi boleh.
Ini bukan saling support, ini saling menjerumuskan.
Cuan di Atas Segalanya?
Tidak bisa dipungkiri, menjadi konten kreator memang bisa mendatangkan cuan. Tapi, apakah cuan harus didapatkan dengan cara mengorbankan etika dan moral? Apakah kita harus menjadi seperti robot yang hanya memikirkan engagement, likes, dan shares tanpa mempertimbangkan dampak dari konten yang kita buat?
Saya pribadi tidak anti-cuan. Siapa sih yang tidak suka cuan? Tapi, ada batasan yang harus dijaga. Ada etika yang harus dipegang. Ada tanggung jawab yang harus dipikul. Ketika kita memutuskan untuk menjadi konten kreator, kita juga memikul tanggung jawab untuk membuat konten yang bermanfaat, menghibur, dan tidak merugikan orang lain.
Tapi, sayangnya, banyak konten kreator yang lupa akan hal ini. Mereka terlalu fokus pada angka—berapa banyak likes, berapa banyak shares, berapa banyak cuan yang bisa didapatkan. Dan dalam prosesnya, mereka mengorbankan hal-hal yang seharusnya tidak boleh dikorbankan.
Lalu, Apa Solusinya?
Kita perlu saling mengingatkan para konten kreator tentang pentingnya etika dalam bermedia sosial. Etika bukan hanya tentang tidak melanggar aturan, tapi juga tentang menghormati privasi orang lain, tidak mengeksploitasi anak-anak, dan tidak membuat konten yang merugikan dan lain sebagainya
Platform seperti Facebook juga harus lebih tegas dalam menindak konten-konten yang melanggar aturan. Jangan hanya memberikan warning, tapi juga mengambil tindakan yang lebih serius, seperti menghapus akun atau membatasi akses.
Sebagai audiens, kita juga harus lebih bijak dalam mengonsumsi konten. Jangan asal like dan share hanya karena konten tersebut terlihat heboh atau viral. Pertimbangkan dulu apakah konten tersebut bermanfaat atau justru merugikan.
Dan yang terakhir, mari kita ingat bahwa menjadi konten kreator bukan hanya tentang mendapatkan cuan. Tapi juga tentang memberikan nilai tambah kepada orang lain. Jika kita hanya fokus pada cuan, maka kita tidak lebih dari mesin pencetak uang yang kehilangan sisi manusiawinya.
Jadi, apa yang terjadi ketika nalar tertutup oleh s@hw@t dolar? Yang terjadi adalah kekacauan. Konten-konten yang seharusnya tidak ada, justru menjadi viral. Etika dan moral diabaikan, hanya untuk mendapatkan likes dan shares. Dan kita, sebagai audiens, seringkali terjebak dalam lingkaran itu tanpa sadar.
Mungkin sudah saatnya kita semua, baik sebagai konten kreator maupun sebagai audiens untuk kembali mempertanyakan Apakah cuan memang segalanya? Ataukah ada hal-hal lain yang lebih penting dari sekadar angka di layar ponsel kita?
Kalau menurut saya sih, cuan itu penting, tapi tidak lebih penting dari etika dan moral. Jadi, mari kita buat konten yang bermanfaat, menghibur, dan tidak merugikan orang lain. Dan yang paling penting, mari kita jaga nalar kita agar tidak tertutup oleh s@hw@t dolar.
Sekian tulisan ini. Jangan lupa like, share, dan comment ya! Tapi, tolong, jangan upload foto jenazah, buatk konten yang mendidik berkualitas dan penuh makna ya gaessss. [SR]
Nalar dan Etika Konten Kreator Tersandera oleh Cuan Meta
Ada yang bilang, dunia konten kreator itu seperti pasar malam. Semua orang berteriak, berusaha menarik perhatian, dan saling sikut untuk mendapatkan tempat terbaik. Tapi, bedanya, di pasar malam kita masih bisa menemukan stand makanan enak atau permainan seru. Sedangkan di dunia konten kreator, terutama di Facebook, yang kita temukan seringkali adalah… yah, entah apa. Mulai dari foto jenazah yang diumbar demi likes, goyang erotis yang katanya “seni”, hingga anak-anak yang dieksploitasi tanpa edukasi. Semua demi satu hal yaitu cuan. Semua bisa tinggal nyalakan tombol record dan upload…..
Saya tidak tahu harus tertawa atau menangis ketika melihat seorang ibu rumah tangga yang juga konten kreator mengunggah foto jenazah suaminya di grup saling support Facebook. Ya, Anda tidak salah baca. Jenazah. Suaminya sendiri. Dengan hashtag yang seolah-olah ingin bilang, “Lihatlah, aku sedang berduka, tapi jangan lupa kasih like dan share ya!”
Mungkin nalarnya tertutup oleh sahw… eh, maksud saya, s@hw@t dolar. Ya, s@hw@t dolar itu memang bisa membuat orang lupa diri. Lupa etika, lupa batasan, bahkan lupa bahwa ada jenazah yang seharusnya dihormati, bukan dijadikan konten. Tapi, sudahlah, mari kita anggap ini sebagai bagian dari “kreativitas” yang mungkin hanya bisa dipahami oleh mereka yang sudah terlalu lama terpapar algoritma Facebook. Heee…. udah berapa cuan kau dapat, hingga kau lupa segalanya
Etika dalam bermedia sosial sepertinya sudah menjadi barang langka. Bukan hanya di kalangan konten kreator, tapi juga di kalangan pengguna biasa. Tapi, konten kreator terutama yang mengklaim diri sebagai “profesional” seharusnya punya tanggung jawab lebih besar. Mereka bukan hanya membuat konten untuk diri sendiri, tapi juga untuk dikonsumsi publik. Sayangnya, tanggung jawab itu seringkali hilang begitu saja ketika ada embel-embel “cuan” di depan mata.
Contohnya? Ya, tadi. Foto jenazah suami yang diunggah ke grup saling support. Saya tidak tahu apa yang ada di pikiran si ibu saat itu. Mungkin dia berpikir, “Ini kan grup saling support, jadi harusnya mereka support aku dong!” Atau mungkin, “Ini konten langka, pasti viral!” Tapi, apa iya kita harus mengorbankan etika dan privasi orang tersayang kita yang sudah meninggal hanya untuk mendapatkan engagement?
Belum lagi konten-konten lain yang sama absurdnya. Ada yang mengupload video anaknya menari dengan gerakan yang tidak pantas untuk usianya, dengan caption, “Anakku lucu ya, jangan lupa follow akunnya!” Atau yang lebih parah, konten-konten berbau pornografi yang dibungkus dengan dalih “seni” atau “edukasi”. Ya, edukasi tentang apa? Tentang bagaimana cara mendapatkan warning dari Facebook?. Dan bahkan banyak juga konten creator flexing ala-ala sultan biar terkesan hasil fb pro nieee bosssss, jadi para pengikut terkesimak dan merasa kagum, padahal itu kebohongan yang di budidayakan..
Saling Support atau Saling Menjerumuskan?
Grup saling support di Facebook seharusnya menjadi tempat untuk saling menginspirasi dan membantu sesama konten kreator. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Grup-grup ini seringkali menjadi tempat para konten kreator saling berlomba untuk membuat konten yang paling norak, paling heboh, dan—maaf—paling tidak bermutu.
“Upload kontenmu di sini, jangan lupa like dan comment konten teman-teman yang lain!” Begitu bunyi aturan yang seringkali terpampang di deskripsi grup. Tapi, apa yang terjadi? Konten-konten yang diupload seringkali tidak melalui filter sama sekali. Mulai dari konten yang melanggar hak cipta, konten yang tidak pantas, hingga konten yang seharusnya tidak pernah ada di internet.
Dan parahnya, semua itu didukung oleh anggota grup lainnya. “Wah, keren banget kontennya!” “Mantap, lanjutkan!” “Semangat terus ya!” Padahal, konten yang diupload jelas-jelas melanggar etika dan aturan bermedia sosial. Tapi, karena ada embel-embel “saling support”, semua seolah-olah menjadi boleh.
Ini bukan saling support, ini saling menjerumuskan.
Cuan di Atas Segalanya?
Tidak bisa dipungkiri, menjadi konten kreator memang bisa mendatangkan cuan. Tapi, apakah cuan harus didapatkan dengan cara mengorbankan etika dan moral? Apakah kita harus menjadi seperti robot yang hanya memikirkan engagement, likes, dan shares tanpa mempertimbangkan dampak dari konten yang kita buat?
Saya pribadi tidak anti-cuan. Siapa sih yang tidak suka cuan? Tapi, ada batasan yang harus dijaga. Ada etika yang harus dipegang. Ada tanggung jawab yang harus dipikul. Ketika kita memutuskan untuk menjadi konten kreator, kita juga memikul tanggung jawab untuk membuat konten yang bermanfaat, menghibur, dan tidak merugikan orang lain.
Tapi, sayangnya, banyak konten kreator yang lupa akan hal ini. Mereka terlalu fokus pada angka berapa banyak likes, berapa banyak shares, berapa banyak cuan yang bisa didapatkan. Dan dalam prosesnya, mereka mengorbankan hal-hal yang seharusnya tidak boleh dikorbankan.
Lalu, Apa Solusinya?
Kita perlu saling mengingatkan para konten kreator tentang pentingnya etika dalam bermedia sosial. Etika bukan hanya tentang tidak melanggar aturan, tapi juga tentang menghormati privasi orang lain, tidak mengeksploitasi anak-anak, dan tidak membuat konten yang merugikan dan lain sebagainya
Platform seperti Facebook juga harus lebih tegas dalam menindak konten-konten yang melanggar aturan. Jangan hanya memberikan warning, tapi juga mengambil tindakan yang lebih serius, seperti menghapus akun atau membatasi akses.
Sebagai audiens, kita juga harus lebih bijak dalam mengonsumsi konten. Jangan asal like dan share hanya karena konten tersebut terlihat heboh atau viral. Pertimbangkan dulu apakah konten tersebut bermanfaat atau justru merugikan.
Dan yang terakhir, mari kita ingat bahwa menjadi konten kreator bukan hanya tentang mendapatkan cuan. Tapi juga tentang memberikan nilai tambah kepada orang lain. Jika kita hanya fokus pada cuan, maka kita tidak lebih dari mesin pencetak uang yang kehilangan sisi manusiawinya.
Jadi, apa yang terjadi ketika nalar tertutup oleh s@hw@t dolar? Yang terjadi adalah kekacauan. Konten-konten yang seharusnya tidak ada, justru menjadi viral. Etika dan moral diabaikan, hanya untuk mendapatkan likes dan shares. Dan kita, sebagai audiens, seringkali terjebak dalam lingkaran itu tanpa sadar.
Mungkin sudah saatnya kita semua, baik sebagai konten kreator maupun sebagai audiens untuk kembali mempertanyakan Apakah cuan memang segalanya? Ataukah ada hal-hal lain yang lebih penting dari sekadar angka di layar ponsel kita?
Kalau menurut saya sih, cuan itu penting, tapi tidak lebih penting dari etika dan moral. Jadi, mari kita buat konten yang bermanfaat, menghibur, dan tidak merugikan orang lain. Dan yang paling penting, mari kita jaga nalar kita agar tidak tertutup oleh s@hw@t dolar. Sekian tulisan ini. Jangan lupa like, share, dan comment ya! Tapi, tolong, jangan upload foto jenazah, buatk konten yang mendidik berkualitas dan penuh makna ya gaessss jangan asal buat konten. [SR]