PolitikSerba-serbi

Mengapa Harus Money Politic?

Musim Pemilihan Umum (Pemilu) tahun ini membawa saya terlibat langsung dalam ajang pesta demokrasi di tatanan terbawah pemerintahan yang ada di Indonesia, tak lain adalah Pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Keterlibatan saya mulai dari pengamatan hingga mengkampanyekan #stoppolitikuang. Dalam berkampanye #stoppolitikuang, saya memilih lokasi terbaik yaitu dunia maya, mengingat dunia maya adalah media publikasi dan sosialisasi yang ampuh bagi pemilih terutama pemilih pemula.

Pilkades yang diadakan serentak oleh pemerintah Kabupaten Lombok Timur ini melibatkan 159 desa yang tersebar di 12 kecamatan. Ada sebuah fakta yang tak bisa dinafikkan oleh kita semua, bahwa nuansa politik Pilkades jauh lebih berasa dibandingkan dengan pemilu lain. Salah satu penyebabnya adalah bahwa masyarakat merasakan sentuhan langsung dari kebijakan ataupun visi-misi Kepala Desa. Oleh sebab itu, masyarakat terlibat penuh dan sangat antusias dalam pesta demokrasi di tatanan terrendah ini.

Dalam Pilkades yang diagendakan serentak pada 13 Desember 2017 yang akan datang, banyak beredar isu-isu negatif mulai dari saling klaim pendukung hingga “serangan fajar” yang merupakan bagian dari money politic (politik uang). Dari sekian isu yang beredar, politik uang memang menjadi isu yang paling menarik untuk dibahas. Menurut hasil obrolan saya dengan beberapa orang pemilih, politik uang dan pemilu ibarat dua disi mata uang. Di mana ada pemilu, di situ ada politik uang. Ditambah lagi, menurut kebanyakan masyarakat, kesuksesan seorang calon pemimpin dalam pemilu berbanding lurus dengan selancar apa politik uang yang dijalankan. Bahkan, fenomena politik uang ini dilakukan secara terang-terangan di waktu yang tak tertentu. Tidak lagi menunggu waktu pagi sebelum pencoblosan berlangsung yang disebut dengan serangan fajar.

Seperti yang disebutkan diatas, politik uang pada setiap kegiatan pesta demokrasi di Indonesia menjadi aktivitas yang tidak bisa dihentikan. Ini merupakan penyakit yang akut di tengah-tengah masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi yang dibangun masih lemah, karena dalam pelaksanaan pemilu seringkali terjadi kecurangan.

Berdasarkan pengamatan, saya menyimpulkan bahwa kecurangan-kecurangan yang sering terjadi saat pemilu didasari oleh tiga hal: tidak percaya diri, pesaing yang kuat, dan terlalu berambisi. Kurang percaya diri yang dimaksud adalah tidak meyakini diri untuk menarik perhatian orang banyak agar mau memilihnya. Masyarakat yang cerdas tentu melihat sosok calon pemimpin dari visi-misi, tingkah laku, dan kecerdasan yang dimiliki oleh calon. Biasanya, calon yang menggunakan politik uang jauh dari kata cerdas dan tidak memiliki kedekatan secara emosional dengan warga. Calon seperti ini bisa dibilang cerdas hanya dalam membagi-bagikan uang alias membeli suara.

Selain ketidakpercayaan diri, faktor lain yang mendasari terjadinya politik uang adalah si calon merasakan adanya pesaing yang kuat. Saat sudah begini, rasa takut akan ketangguhan lawan yang mulai menghantui si calon akan membuka jalan terakhir yang mau tak mau harus dilakukan yaitu money politic.

Terlalu berambisi juga menjadi faktor penyebab melakukan politik uang selain tidak percaya diri dan pesaing yang kuat. Malah, terlalu berambisi bisa dikatakan sebagai faktor utama yang paling mendasar. Bagaimana tidak, seorang calon yang terlalu berambisi akan berpikir untuk melakukan segala cara demi mewujudkan niatannya, termasuk cara yang di luar koridor hukum seperti politik uang.

Sebenarnya, ke tiga faktor ini bisa dikurangi atau bahkan dihilangkan oleh si calon agar tidak terjadi politik uang. Dari jauh hari, seharusnya para tokoh mempersiapkan diri dengan matang sebelum memutuskan niatnya untuk ikut bertarung di ajang pesta demokrasi. Banyak hal yang bisa dilakukan seperti sosialisasi dan membangun kedekatan dengan masyarakat. Tidak hanya itu, pengabdian terhadap masyarakat dengan sumbangsih ide dan tindakan nyata mampu menjadi garansi kepercayaan terhadap seorang tokoh.

Selain diri pribadi si calon, untuk mencegah politik uang juga bisa melalui masyarakat itu sendiri. Misalnya, masyarakat harus cerdas dalam menentukan pemimpinnya. Jangan sampai, uang dijadikan tolok ukur dalam memberikan hak suaranya. Namun sayang, hal ini masih menjadi angan-angan belaka, karena yang terjadi di lapangan justeru sebaliknya. Faktanya, ketika ditanyai perihal politik uang, kebanyakan masyarakat mejawab dengan santai bahwa masa pemilu menjadi masa yang ditunggu-tunggu, tidak lain alasannya adalah karena adanya politik uang. Masa ini dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menentukan pilihan berdasarkan uluran uang yang paling “menggiurkan”. Hal ini menjadikan politik uang sebagai barang dagangan yang laris manis ketika pesta demokrasi karena sudah ada pembeli langganannya yaitu masyarakat.

Resiko jangka panjang yang paling dikhawatirkan adalah bahwa politik uang mengajarkan masyarakat untuk melakukan kecurangan dan menjadikan politik uang sebagai budaya yang akan berlanjut ke generasi selanjutnya.

Sejatinya suara hati nurani masyarakat yang digunakan dalam ajang pesta demokrasi ini untuk menentukan nasib daerahnya kini terganjal dengan politik uang, dengan mudahnya para calon dan timnya mengunci aspirasi masyarakat dengan uang. Bisa di katakan bahwa dengan diberlakukkanya praktik-praktik busuk semacam ini mencoreng prinsip-prinsip demokrasi yang seutuhnya. Jadi, siapa yang memiliki uang maka dialah yang berkuasa. Tapi sebaliknya jika para pemilih atau masyarakat sudah mulai cerdas dan mau memikirkan nasib daerahnya, apapun bentuk upaya dalam mempengaruhi hati nurania tidak akan tergoyahkan.

Sudah saatnya kita sebagai penduduk negeri ini untuk mulai menyudahi praktik-praktik politik uang. Prinsip bebas dan jujur harus tetap di terapkan. Pemilih atau masyarakat harus bebas menentukan siapa pilihannya tanpa ada interpensi dalam bentuk apapun. Kejujuran juga harus diterapkan agar kecurangan demi kecurangan bisa dihalau. Jika ini terus dibiarkan maka, upaya untuk mengurangi wabah korupsi di pemerintahan akan terasa berjalan ditempat.

Politik uang berkaitan erat dengan dunia korupsi. Mau tidak mau jika sejak awal sudah menerapkan politik uang, kandidat calon mengeluarkan ratusan juta bahkan hingga miliaran rupiah. Pertanyaannya adalah bagaimana cara mengembalikan modal yang sejak awal sudah terkuras untuk melakukan kecurangan. Sehingga seringkali transfaransi pengunaan dana sering kali ditutup-tutupi, atau jika di publikasikan anggaran belanja banyak yang tidak sesuai. Pilihannya adalah, apakah selamanya politik uang akan melekat dan menjadi bagian dalam ajang pesta demokrasi di negara ini, terutama tingkat desa? Atau sebaliknya apakah kita sudah siap untuk meninggalkan budaya kotor ini?. Jawabanya ada pada diri kita.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *