Serba-serbi

Lelaki Berkumis Itu Bukan Bidadari

Pertanyaan ini kembali muncul setelah hampir 8 tahun berlalu. Bulan ini adalah bulan yang bertema untuk tulisan #1minggu1cerita, dan ini adalah bagian dari tantangan yang diberikan kepada seluruh anggota. Tujuannya? Untuk mengasah kreativitas para anggota agar tetap rajin menulis. Bukan komunitas #1minggu1cerita namanya kalau tema-tema yang disajikan tidak unik dan penuh makna.

Apapun bentuk temanya, bukan berarti hal itu menjadi penghalang atau beban untuk menulis. Justru, hal semacam ini bisa menjadi stimulan bagi hormon endorfin dalam tubuh kita. Hormon ini bekerja untuk membuat kita merasa bahagia. Jadi, jangan malah merasa kurang semangat ketika diberi tantangan. Buktinya, banyak anggota yang penasaran dan bertanya-tanya tentang tema yang akan diberikan. Bahkan, ada yang sampai minta bocoran tema!

Kunci untuk tetap aktif menulis sebagai blogger adalah dengan menjaga rasa bahagia. Dan rasa bahagia itu bisa dirangsang dengan hal-hal positif. Saya yakin kalian sudah tahu caranya, karena setiap orang punya cara dan usaha tersendiri untuk merasa bahagia.

Nah, kembali ke tema yang diberikan. Ada yang tahu nama panjang saya? Saya yakin kalian akan kaget mendengarnya. Tidak sedikit orang yang merasa aneh dengan nama dan arti nama saya. Nama menjadi tantangan tersendiri bagi saya. Banyak orang bilang bahwa nama adalah doa, sebuah harapan yang diberikan oleh orang tua. Tapi, jika arti nama saya seperti yang akan saya jelaskan nanti, apakah kalian akan mendoakan saya sesuai dengan arti nama itu?

Pemberian nama tidak sekadar memiliki arti atau makna. Lebih dari itu, nama memiliki fungsi sosial. Jika Anda mengira fungsi sosial sebuah nama hanya untuk memberi identitas seseorang, maka itu tidak sepenuhnya salah.

Pentingnya Sebuah Nama

Saya rasa semua orang tahu betapa pentingnya sebuah nama, meskipun sebagian orang mungkin tidak terlalu memikirkannya. Nama itu penting sebagai identitas dan penanda seseorang atau benda, bahkan seluruh makhluk hidup.

Nama memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan seseorang. Secara psikologis, seorang anak bisa terpengaruh oleh nama dan panggilan yang diberikan kepadanya. Kadang, anak merasa rendah diri karena nama yang diberikan orang tuanya tidak memiliki makna yang mengagumkan. Hal ini terjadi karena kata dan tulisan yang pertama kali dikenal dan dilihat oleh seseorang adalah namanya sendiri. Jika nama yang diberikan bagus, maka dia akan bangga dan mengekspresikan dirinya dengan penuh keceriaan.

Sejarah Pemberian Nama Saya

Tahun 1989, sepasang suami istri yang sehari-harinya bekerja sebagai petani, merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Hadiah yang sangat bermakna hadir dalam hidup mereka. Seorang anak pertama berjenis kelamin laki-laki terlahir dengan kondisi normal. Anak itu, dengan berat badan mencapai 4,5 kilogram, adalah saya sendiri.

Sudah satu minggu berlalu, dan waktu aqiqah semakin dekat. Tapi, ada satu tugas besar yang belum diselesaikan oleh bapak saya: memberikan nama untuk sang jagoan kecil.

Berbagai saran pun mengalir, hingga akhirnya bapak saya memutuskan sebuah nama: “Teguh Andalan”. Nama ini memiliki makna dalam bahasa Indonesia yang berarti anak yang memiliki keteguhan hati dan menjadi harapan bagi keluarga serta masyarakat sekitar.

Tapi, usulan nama itu hanya sebatas usulan. Seluruh keluarga menolaknya. Hari demi hari berlalu, sang bayi masih belum memiliki nama. Hingga akhirnya, di hari ke-12, nama itu akhirnya tersematkan: Safprada Rizma Huri Aurunnisa.

Nama ini diberikan oleh bapak kaka (pak De) sepulang dari acara muktamar Muhammadiyah di Jawa. Menurut sebagian keluarga, nama ini perlu ditambahkan dengan nama keluarga. Akhirnya, terjadilah kesepakatan: nama tambahannya adalah Huri Aurunnisa. Nama “Huri” berasal dari garis keturunan ibu (nenek), sedangkan “Aurun” berasal dari nama kakek dari garis keturunan ibu. Sementara “Nisa” berasal dari nenek dari garis keturunan bapak.

Nama itu pun melekat hingga sekarang. Kebingungan karena nama yang panjang, serta perasaan kurang percaya diri, sempat menghantui saya sejak SD hingga SMA. Bahkan, saat duduk di kelas 3 SD, bapak saya dan kepala sekolah sempat berdiskusi untuk mengubah nama saya. Menurut kepala sekolah, nama yang terlalu panjang bisa mengganggu saat pengisian formulir ujian. Dan itu benar adanya.

Kepala sekolah mengusulkan agar nama saya disingkat menjadi “Safprada” saja. Orang tua saya setuju, tapi sayang, penolakan datang dari keluarga besar, baik dari pihak ibu maupun bapak.

Menurut agama saya (Islam), nama adalah doa. Tapi, saya tidak tahu doa apa yang tersirat dalam nama saya. Hingga akhirnya, di tahun 2009, momen yang tidak terlupakan terjadi. Saat itulah saya baru mengetahui arti nama saya sendiri.

Ceritanya berawal dari pembukaan rekening di sebuah bank syariah. Setelah mengisi formulir, petugas bank bertanya dengan senyum manis:

Petugas Bank: “Mas, tahu arti namanya?”

Saya: “Tidak tahu, mbak.” (dengan muka datar)

Petugas Bank: “Mas mau tahu artinya?”

Saya: “Kira-kira artinya apa? Soalnya selama ini saya tidak tahu. Bahkan, saya pernah tanya ke orang tua, mereka cuma bilang itu nama nenek dan kakek saya.”

Petugas Bank: “Arti nama mas sangat bagus, lho. Bidadari berhati baik.”

Saya: “Serius?” (dengan nada tidak percaya)

Percakapan itu pun berakhir. Kebingungan mulai menghampiri. Sepengetahuan saya, hanya kata “Nisa” yang bermakna perempuan. Selebihnya, saya kira nama itu lebih cocok untuk laki-laki. Tapi, ya sudahlah, itu kan cuma nama. Mungkin saja nama itu adalah doa agar saya mendapatkan istri seperti bidadari.

Tapi, menurut agama, nama adalah doa dan bentuk pengharapan. Jika namanya “Rizki”, berarti orang tua berharap anaknya mendapatkan rezeki yang melimpah. Lalu, apa arti nama saya?

  • Safprada: Sampai sekarang saya tidak tahu artinya.
  • Rizma: Keluarga baik-baik.
  • Huri: Berasal dari kata “huraiyah” (bidadari bermata elok).
  • Hairunnisa: Wanita yang baik.

Jadi, kira-kira doa apa yang tersirat dalam nama saya? Apakah orang-orang yang menyebut nama saya mengharapkan saya, lelaki berkumis tebal ini, berhati bidadari? Atau malah menginginkan saya jadi bidadari bermata elok? Entahlah, hanya Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang tahu.

Kejadian Unik Terkait Nama Saya

Pernah tidak kalian mengalami kejadian unik terkait nama kalian? Saya sering mengalaminya, dari hal lucu hingga yang cukup fatal.

Nama yang panjang dan identik dengan nama perempuan membuat banyak orang salah kaprah. Misalnya, saat guru melakukan absensi. Seringkali, guru menyebut nama saya, dan yang menengok adalah sekumpulan anak perempuan.

Guru: “Safprada Rizma Huri Aurunnisa?”

Saya: “Hadir, Bu.”

Guru: “Lho, kok kamu yang nyaut? Kamu dengar nggak tadi ibu panggil siapa?”

Saya: “Maaf, Bu. Itu nama saya. Safprada itu laki-laki.”

Guru: “Betul, anak-anak? Dia yang namanya Safprada?” (Guru sering tidak percaya dan menanyakan ke siswa lain).

Terkadang, saya merasa risih dengan nama sendiri. Tidak jarang, nama saya menjadi bahan olokan saat guru melakukan absensi.

Hal serupa terjadi saat saya kuliah, tepatnya saat kegiatan OSPEK (Orientasi Pengenalan Kampus). Saat itu, saya diminta memperkenalkan diri di depan seluruh mahasiswa baru. Bayangkan, saya harus berdiri di depan puluhan senior dengan wajah seram seperti srigala kehausan. Ketika saya menyebutkan nama, semua orang tertawa terbahak-bahak. Mereka berteriak, “Itu nama atau kumpulan emak-emak pengajian?”

Beda lagi saat dosen melakukan absensi. Sama seperti saat SD dan SMA, dosen sering melirik ke arah perempuan saat menyebut nama saya. Parahnya lagi, jenis kelamin saya sering tertulis sebagai perempuan di daftar hadir.

Tapi, yang paling menyebalkan adalah penulisan nama di ijazah. Dari SD hingga SMA, nama saya selalu salah. Bayangkan, pas lulus, nama di ijazah salah. Untungnya, ijazah S1 saya tidak salah.

Daftar penulisan nama yang salah di berbagai identitas saya:

  • Ijazah SMP
  • Sertifikat dan piagam penghargaan (hampir 20 lembar bermasalah)
  • Kartu Keluarga (sampai sekarang masih salah)
  • Dan identitas lainnya

Inilah dampak dari nama yang tidak sesuai dengan tampang pemiliknya. Padahal, saya punya kumis panjang, kulit sawo matang, dan tampang maco. Tapi, tetap saja orang tidak percaya.

Cerita ini tidak hanya terjadi di sekolah atau kampus. Bahkan, di komunitas #1minggu1cerita, saat saya memperkenalkan diri via WhatsApp, banyak anggota yang membalas, “Ya, mbak Safprada, salam kenal juga.” Padahal, foto profil saya jelas-jelas berkumis.

Kejadian serupa juga terjadi saat saya atau kantor tempat saya bekerja memesan kamar hotel. Seringkali, saya ditempatkan sekamar dengan rekan kerja perempuan. Kesalahannya bukan dari saya, tapi dari pihak hotel yang mengira saya perempuan.

Di akhir cerita ini, saya hanya ingin bilang: apapun nama dan arti nama kalian, syukurilah. Itu adalah pemberian orang tua dan merupakan doa yang melekat sebagai identitas kalian. Saya bersyukur punya arti nama “bidadari berhati baik”. Mungkin ini doa agar saya kelak mendapatkan istri yang sesuai dengan arti nama saya. Tapi, jika nama itu terlarang dalam agama, pertimbangkanlah untuk menggantinya. Jangan sampai doa buruk selalu melekat.

Jadi, lelaki berkumis ini bukan bidadari, tapi siapa tahu, mungkin doa dalam namanya akan membawa kebahagiaan di masa depan. [SR]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *