Konflik dan Nalar Pariwisata Antara Pemerintah Masyarakat serta Investor
Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) kini menjadi sorotan semua pihak, tak terkecuali para investor yang mau menanamkan modalnya. Para investor ini terkesimak akan keindahan alam NTB yang terkesan masih alami, terutama di Pulau Lombok. Deretan destinasi mulai dari gunung hingga pantai mampu memikat para investor. Destinasi pantai menjadi primadona bagi sebagian orang. Bagaimana tidak, puluhan pantai dengan karakteristik yang berbeda-beda menambah deret panjang destinasi wisata Lombok. Mulai dari pantai senggigi, gili trawangan, gili meno, gili air, pantai kuta, pantai mawun, pantai pink, gili kondo dan masih banyak lokasi wisata lainnya, kesemuanya itu tidak pernah sepi dari kunjungan wisatawan baik wisatawan domestik maupun mancanegara.
Melihat potensi ini pemerintah dan para pemerhati pariwisata mulai putar strategi bagaimana cara untuk lebih mengikat para wisatawan supaya lebih banyak kunjungan datang ke Lombok. Salah satu caranya adalah dengan menyediakan berbagai macam fasilitas pendukung seperti Hotel dan tempat hiburan lainnya. Melihat hal ini pemerintah sendiri tidak bisa dengan sendirinya untuk berada dalam lingkaran ini, mulailah berinisiatif untuk mempromosikan bahwa Lombok sebagai lokasi yang layak untuk berinvestasi. Tak tangung-tanggung pemerintah dibawah pimpinan duo doctor yaitu Dr Zulkiflimansyah (Gubernur) dan Dr Rohmi (Wakil) membuat tagline bahwa NTB sebagai daerah yang Ramah Investor.
Informasi tersebut tentu mendapat apresiasi yang cukup tinggi dari kalangan masyarakat. Masyarakat menilai bahwa pemerintah daerah selama ini melaksanakan tugasnya dengan baik dan secara otomatis harapan masyarakat untuk meningkatkan pendapatannya sehari-hari akan berdampak positif.
Dari sekian daerah wisata yang ada di Pulau Lombok, kabupaten Lombok Tengah adalah salah satu daerah yang memiliki kawasan wisata yang tidak kalah menarik dibandingkan dengan daerah-daerah lain. Mulai dari wisata gunung/ hutan hingga wisata lautnya.
Berbicara wisata gunung, hutan dan air terjun tentu wilayah Lombok Tengah bagian utara tempatnya, sedangkan wilayah bagian selatan menyediakan panorama pantai. Dua lokasi yang berbeda ini memiliki daya tarik yang luar biasa bagi wisatawan.
Keindahan wisata tersebut khususnya wilayah selatan kabupaten Lombok Tengah disisi lain mengundang sebuah tanda tanya, mengapa keindahan panorama pantai tersebut tidak di sertai dengan sarana pendukung lainnya seperti ketersediaan tempat wisatawan seperti hotel ataupun yang sejenisnya masih bisa dihitung dengan jari akan keberadaannya.
Sepintas terbayang di benak kita bahwa upaya yang dilakukan oleh pemerintah bersama investor ini dengan mulusnya terealisasi, tidak pernah ada halangan yang berarti terutama dalam hal penyediaan sarana pendukung kawasan wisata sebagai daya dukung perkembangan dan kemajuan daerah wisata tersebut. Anggapan yang demikian tidak selamanya benar. Realita di lapangan berbicara lain dengan anggapan yang lurus yang keluar dari nalar kita. Setiap ada upaya investasi selalu diwarnai konflik. Kenapa selalu terjadi? Ini pertanyaan yang mendasar yang membutuhkan jawaban dari semua sisi.
Tidak ada titik temu antara Pemeritah, Masyarakat dan Investor
Kita tidak bisa menutup mata bahwa keberadaan pariwisata bagaikan gula yang dikerumuni semut, dan semutnya adalah pemerintah, masyarakat dan investor. Pemerintah dengan berbagai upaya yang dilakukan guna meningkatkan pendapatan daerahnya tak terelakkan dengan mudahnya mengiyakan para investor untuk datang berinvestasi. Dan hal ini terkesan selalu mengenyampingkan keberadaan masyarakat yang ada di sekitar kawasan pariwisata, sehingga masyarakat terkesan sebagai korban Pariwisata.
Tidak hanya itu, seringkali setiap terjadi pembebasan lahan selalu diwarnai dengan adanya konflik antara investor dan masyarakat, seperti yang terjadi baru-baru ini antar investor sirkuit Mandalika (lintasan MotoGP) dengan masyarakat yang penyebabnya tidak lain dan tidak bukan adalah permasalahan pembebasan tanah. Jenis masalah sangat bervariatif antara lain penjualan lebih dari satu kali terhadap objek tanah yang sama oleh pihak pemilik tanah kepada pihak lain, sertifikat ganda, saling klaim kepemilikan dan lain-lain. Hal ini medatangkan tanda tanya yang begitu besar. Bagaimana bisa satu petak tanah dimiliki oleh sekian banyak orang, dan setiap orang memiliki sertifikat masing-masing. Dalam hal ini saya tidak berani menguraikan penyebab terjadinya, yang jelas kita bisa menebak siapa yang bermain di balik semua ini.
Bukan hanya kepemilikan tanah yang ganda, upaya pembebasan dengan sistem ganti rugi seringkali juga menjadi faktor penyebab terjadinya konflik. Masyarakat menilai upaya ganti rugi seringkali menguntungkan investor dan merugikan masyarakat, sehingga masyarakat lebih memilih upaya jual beli. Lambannya pembayaran areal yang dibebaskan juga seringkali menjadi penyebab utama konflik itu terjadi. Melihat hal ini, daerah terkesan belum siap. Investasi dari luar negeri bukan lah hal baru. Sejak dulu jika ada investor asing selalu menjadi pro dan kontra.
Pariwisata yang sejatinya dijadikan sebagai upaya bagaimana mensejahterakan masyarakat sekitaran terkesan tidak pro. Sehingga mau tidak mau kalimat masyarakat korban pariwisata memang benar terjadi. Masih banyak lagi dampak negatif yang terjadi akibat nalar kita yang belum siap atau pemerintah yang terkesan mengejar target sebuah program. Tidak hanya itu, pariwisata seringkali mengasingkan orang lokal dan melokalkan orang asing, dengan kata lain, masyarakat menjadi asing di tanah sendiri. [SR]