Kita Tidak Peduli Akan Kondisi Bumi Ini, Sampah Masih Berserakan
Bayangkan sebuah truk sampah. Bukan truk sampah biasa, tapi yang ukurannya segede kolong jembatan penyebrangan. Sekarang bayangkan ada 2.000.000 truk semacam itu antre mau buang muatan. Itu bukan antrean BBM atau antrian untuk nurunin sembako. Itu adalah jumlah sampah yang kita, para penghuni bumi yang sok sibuk ini, buang setiap tahunnya. Dan kita bukan cuma buang di tempat yang benar. Kita buang semaunya, seolah-olah bumi ini punya apartemen cadangan di planet lain.
Angkanya? Dua miliar metrik ton lebih. Itu baru sampah kota. Belum sampah-sampah abstrak seperti janji politisi atau chat-chat mantan yang cuma jadi memori usang di cloud wkwkwkwk.
Kalau ritme buang sampah kita yang levelnya out of sight, out of mind ini diterusin, tahun 2050 nanti, kita akan punya koleksi 3.78 miliar metrik ton sampah. Itu setara dengan menumpuk semua rasa penyesalan mantan calon pasangan di seluruh dunia dan menjadikannya gunung yang bisa dilihat dari bulan tanpa teleskop.
Dari semua sampah yang kita hasilkan dengan penuh kebanggaan itu, cuma 62% yang dikumpulkan dengan cara yang agak proper. Sisanya? Dibakar sembunyi-sembunyi seperti membakar bukti chat selingkuh, ditimbun ala kadarnya, atau dilarung ke sungai seolah-olah sungai itu keranjang sampah berarus yang kemudian menumpuk di lautan. Cukup mantan aja yang dibuang kelaut, sampah mu jangan ya….
Dari yang dikumpulkan dengan baik itu pun, cuma 19% yang didaur ulang. Selebihnya dikubur di TPA sanitary landfill. TPA model ini memang lebih sopan; dia pakai liner anti bocor dan punya sistem kumpul gas metan. Tapi, operasinya mahal. Akibatnya, cuma 8% TPA di dunia yang model begini.
Pemenangnya? Open dumping. TPA model open relationship dengan lingkungan ini menguasai 40% pasar sampah global. Murah, sih. Tapi konsekuensinya, racun dan gas rumah kaca bisa kabur dengan mudah, mencemari tanah, air, dan akhirnya balik lagi ke kita sambil bawa oleh-oleh penyakit.
Gas metan dari TPA ini bukan main seramnya. Dia bisa nge-hang atmosfer 80 kali lebih ganas daripada karbon dioksida. Studi Harvard bilang, emisi gas rumah kaca di 70 TPA AS ternyata 77% lebih tinggi dari yang dilaporkan pemerintah. Artinya, kita mungkin lagi diremehin sama data resmi. Seperti calon pasangan yang bilang “cuma temenan,” tapi ternyata udah janjian nikah sama orang lain.
Selain Bikin Bumi Gerah, Sampah Kita Jadi Menu Diet Paus dan Burung Laut
Kita bukan cuma bunuh bumi pelan-pelan, tapi juga bunuh tetangga-tetangga kita yang lain di rantai makanan. Semua jenis makhluk laut dari ikan, mamalia, burung, sampai krustasea, sekarang lagi diet plastik. Mereka nggak bisa bedain mana makanan yang bisa dimakan, mana kantong kresek. Malah, ada plastik yang baunya mirip makanan, jadi mereka tertarik. Ibaratnya, kita tipu mereka dengan sampah kita.
Tahun 2021, diperkirakan 19–23 juta ton plastik masuk ke perairan. Setidaknya 1.500 spesies sudah ketahuan makan plastik. Paus biru, misalnya, bisa melahap 10 juta keping mikroplastik sehari. Itu setara dengan kita makan satu piring nasi yang di dalamnya ada sepuluh butir kerikil. Cuma bedanya, kerikil bisa keluar, sedangkan plastik nempel di usus dan meracuni.
Burung laut? Tahun 2015, 90% dari mereka ditemukan ada plastik di dalam perutnya. Mereka mati dengan perut penuh sampah manusia. Dan ujung-ujungnya, plastik yang dimakan ikan dan udang itu balik lagi ke piring kita. Lingkaran setan yang kita mulai sendiri.
Dan Ujung-ujungnya, Kita Juga yang Kena Batunya
Kita pikir cuma binatang yang jadi korban. Eh, ternyata kita juga. Lebih dari 1.000 bahan kimia dalam plastik diklasifikasikan sebagai pengganggu endokrin. Ada yang karsinogenik. Mereka dikaitkan dengan kanker, infertilitas, Alzheimer, keguguran, dan masalah perkembangan.
Belum lagi PFAS, si forever chemicals, yang bisa bertahan puluhan tahun. Dia ada di panci antilengket, baju antinoda, sampai busa pemadam kebakaran. Begitu dibuang ke TPA, dia bisa bocor ke tanah dan air, lalu meracuni kita.
Kita, yang cuma 16% populasi dunia (negara berpenghasilan tinggi), menyumbang 34% sampah global. Artinya, kita sampahnya sedikit, tapi buangnya banyak. Nggak adil, kan?
Jadi, Mau Apa?
Kita bisa mulai dari hal kecil, nanya ke diri sendiri, “Gue butuh banget nggak, sih, beli ini?” Tolak fast fashion, tinggalkan plastik sekali pakai, dan yang paling penting kita harus sadar bahwa sampah itu bukan cuma urusan tukang angkut sampah. Tapi urusan kita semua yang setiap hari ikut memproduksinya.
Karena kalau nggak sekarang, kapan lagi? Nunggu sampe paus-paus pada mati dan burung-burung pada punah, atau nunggu banjir setinggi 3 meter menutupi atap rumah kita trus kita baru sadar bahwa kita bukan cuma merusak planet, tapi juga mempersiapkan kuburan massal untuk diri sendiri.[SR]
