Serba-serbi

Dilema POPT Sebagai Ujung Tombak yang Dianggap Ujung Sapu


Jika ada kontes pekerjaan paling multitasking di negeri ini, mungkin Petugas Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan (POPT) layak masuk nominasi. Bayangkan, mereka harus berjibaku dengan hama, penyakit tanaman, dan dampak perubahan iklim (Banjir-Kering) sekaligus menjadi korban efisiensi anggaran ala kadarnya. Mereka bukan superhero, tapi kerjanya lebih berat dari itu. Sementara pejabat tinggi bisa dengan santai merangkap jabatan bahkan kadang sampai 2 posisi dengan gaji yang mengalir deras, POPT harus merangkap wilayah kerja (bukan jabatan, karena mereka bukan pejabat, hanya pelayan negara yang tak dianggap) tanpa tambahan imbalan. Bahkan, Biaya Operasional (BOP) yang mestinya menjadi napas mereka dalam menjalankan tugas, tiba-tiba dianggap sebagai “temuan” oleh pemeriksa keuangan.

Ya, BOP POPT dianggap tidak sah karena tidak tercantum dalam Surat Keputusan (SK) Kementerian Keuangan. Lucu, karena yang tercantum dalam SK itu hanya BOP untuk penyuluh pertanian. Seolah-olah POPT adalah makhluk astral yang bekerja tanpa perlu transportasi, tanpa perlu komunikasi, tanpa perlu apa pun selain semangat mengabdi. Padahal, wilayah kerja seorang POPT bisa mencakup dua hingga tiga kecamatan, sementara penyuluh pertanian cukup mengurusi satu desa. Tapi, siapa peduli? Logika anggaran kita memang seringkali seperti kalkulator rusak, yang dihitung bukan kebutuhan, tapi seberapa banyak bisa dipotong.

Lalu, ketika BOP dihilangkan, muncul “solusi kreatif” yaitu uang transport. Sebuah istilah yang terdengar lebih sopan, tapi nominalnya justru lebih mengenaskan. Jika BOP sebelumnya sebesar Rp500 ribu perbulan, uang transport ini hanya Rp150 ribu juga tiap bulannya. Bayangkan, harus menjangkau satu bahkan tiga kecamatan dengan uang segitu.

Tapi, rupanya, Rp150 ribu pun masih dianggap terlalu besar. Di bulan Juli, bantuan transport itu dihapus juga. Entah dengan alasan apa. Mungkin dianggap POPT bisa teleportasi, atau mereka diharapkan bekerja dengan tenaga dalam dan kekuatan pikiran.

Yang lebih menggelitik atau lebih tepatnya, mengiris hati adalah ketidakadilan yang begitu telanjang. Penyuluh pertanian tetap dapat BOP, meski wilayah kerjanya hanya satu desa. Sementara POPT, yang wilayahnya lebih luas, tugasnya lebih berat (karena mereka bukan hanya menyuluh, tapi juga harus memantau, mengidentifikasi, dan menanggulangi serangan hama serta dampak perubahan iklim), malah dapat nol. Jika memang efisiensi anggaran, mengapa tidak merata? Mengapa hanya POPT yang jadi korban? Atau jangan-jangan, ini bukan soal efisiensi, tapi soal siapa yang dianggap penting dan siapa yang bisa diabaikan?

POPT adalah garda terakhir dalam menjaga ketahanan pangan. Ketika hama menyerang, ketika penyakit tanaman merebak, ketika banjir atau kekeringan mengancam, merekalah yang pertama kali turun ke lapangan. Tapi, negara seolah berkata, “Kerjamu penting, tapi kami tak mau membayarmu dengan layak.” Ini seperti meminta seseorang memadamkan api, tapi melarangnya menggunakan air.

Mungkin, para pengambil kebijakan perlu mencoba sendiri menjadi POPT. Cobalah mengendalikan hama di 1 kecamatan. Cobalah berkoordinasi dengan petani, mengumpulkan data, menanggulangi serangan OPT yang tiap tahun selalu angkanya bertambah. Bagiamana tidak bertambah lahan petani dipaksakan untuk terus ditanami satu komoditi seperti tanaman padi dengan pola padi, padi dan terus padi tanpa mengindahkan konsep rotasi tanam. Barangkali, setelah merasakan betapa absurdnya situasi ini, mereka akan berpikir ulang.

Atau, mungkin tidak. Karena di negeri ini, kebijakan seringkali dibuat oleh orang-orang yang terlalu jauh dari lapangan. Mereka yang duduk di kursi empuk, merancang aturan untuk orang-orang yang bekerja di tengah lumpur dan hama, dan terkadang ada ancaman nyawa ketika mendata areal rusak akibat banjir. Banjirnya tidak main-main bisa saja banjir bandang tanpa pernah benar-benar paham bagaimana rasanya.

POPT tidak meminta banyak. Mereka hanya ingin dihargai sesuai dengan beban kerjanya. Jika BOP tidak mungkin, berikanlah skema pendanaan yang jelas. Jika uang transport tidak cukup, jangan malah dihilangkan.

Kita selalu gemar berkoar tentang ketahanan pangan, tentang swasembada, tentang pertanian yang maju. Tapi, selama penjaga pangan kita diperlakukan seperti ini, semua itu hanya akan jadi wacana. POPT bukan sekadar petugas, mereka adalah benteng terakhir. Dan benteng yang tak dirawat, lambat laun akan runtuh.

Jangan sampai nanti, ketika serangan hama meluas, ketika produksi pertanian merosot, kita baru tersadar. Tapi, seperti biasa, kita memang gemar menunggu sampai masalah menjadi bencana sebelum bergerak. Dan POPT? Mereka akan tetap bekerja, dengan atau tanpa BOP, karena tanamannya tidak bisa menunggu kebijakan pemerintah berubah. Tapi, seperti biasa, mungkin kita akan lebih memilih untuk menyalahkan iklim, menyalahkan alam, atau yang paling mudah menyalahkan POPT yang dianggap tidak bekerja maksimal.

Kita hanya bisa berharap bahwa suatu saat, ada yang mendengar jeritan mereka. Atau setidaknya, berhenti memperlakukan mereka seperti ujung sapu yang rela menyapu kotoran tanpa mau memperhatikan atau peduli akan ujung sapu tersebut yang terpentig kotoran tersebut bersih. Sapu setelah di pakai yah… digeletakkan sembarangan. Nah begitulah POPT Karena yang mereka jaga bukan hanya tanaman, tapi juga pangan kita semua.

Padahal, yang tidak bekerja maksimal bukanlah mereka. [SR]

One thought on “Dilema POPT Sebagai Ujung Tombak yang Dianggap Ujung Sapu

  • NASIKIN anwar

    Mantap perlu gagasn yglebih lanjut untuk permasalahan terkait POPT muda 2 an ada kebijakan yg positif dan mendukung tentang kesejahteraan POPT

    Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *