Cerita

Di Antara Rintihan Lansia, Ke Mana Perginya Anak-Anak Mereka?

Hari ini, aku berkunjung ke poli rehabilitasi medik. Begitu masuk, pemandangan yang menyentuh langsung menyapa. Puluhan lansia duduk berbaris rapi, menunggu antrian untuk konsultasi dan terapi. Wajah-wajah mereka mengisahkan perjuangan panjang, tubuh yang mulai rapuh, namun mata yang masih berharap.

Yang membuat hati ini teriris—hampir semua dari mereka hanya ditemani pasangannya, sesama lansia. Seorang kakek dengan tangan gemetar memegang tongkat, perlahan mendorong kursi roda istrinya yang sudah tidak bisa berjalan. Di sudut lain, seorang nenek berjalan tertatih-tatih, sendirian, tanpa pegangan. Tangannya berpegangan pada dinding, langkah kecilnya penuh keteguhan meski terlihat begitu berat.

Aku terdiam, memandangi satu per satu. Di mana anak-anak mereka? Di mana keluarga yang seharusnya mendampingi di saat-saat seperti ini? Apakah kesibukan telah mengikis rasa tanggung jawab? Atau mungkin jarak dan waktu dianggap sebagai pembenar untuk absen?

Mereka, para lansia ini, adalah orang-orang yang dulu bangun pagi buta untuk bekerja membesarkan anak-anaknya. Mereka yang rela tidak makan demi memastikan buah hatinya kenyang. Mereka yang memeluk erat saat anaknya menangis, mengobati luka, dan berdoa tanpa henti agar anak-anaknya bahagia.

Tapi kini, di usia senja, ketika tubuh mereka tak lagi sekuat dulu, ketika langkah mulai goyah dan sakit-sakit datang menghampiri—mereka justru harus berjuang sendirian. Bahkan untuk sekadar duduk di kursi rumah sakit, menunggu panggilan dokter, mereka hanya ditemani sesamanya—atau lebih menyedihkan, berjuang sendiri melawan waktu.

Aku tak bisa membayangkan betapa hancurnya hati seorang ibu tua yang harus menahan sakit sendirian, sementara anak-anak yang ia besarkan dengan susah payah tak ada di sisinya. Atau seorang ayah yang dulu kuat menggendong anaknya, kini kesulitan berdiri tanpa ada tangan yang mau menopangnya.

Mungkin anak-anak mereka sibuk. Mungkin mereka punya alasan. Tapi, apakah ada alasan yang cukup untuk meninggalkan orang tua kita ketika mereka paling membutuhkan?

Hari ini, poli rehabilitasi medik bukan hanya mengobati fisik yang sakit, tapi juga membuka mata hati: betapa sering kita lalai pada orang tua yang telah memberi segalanya.

Mari kita ingat, suatu hari nanti, kita akan seperti mereka. Dan kita pasti berharap, ada tangan-tangan yang dengan sabar menemani, seperti dulu mereka menemani kita belajar melangkah.

Jangan sampai penyesalan datang.

Ini tulisan untuk saya dan kita yang masih punya orang tua. [SR]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *