Coretan-Coretan di Halaman Belakang Buku Tulis
Bersyukurlah kalian, wahai anak kota. Karena kalian tidak terlahir sebagai anak desa. Kalimat itu bukanlah seruan yang lahir dari kedengkian, melainkan sebuah pengakuan yang terangkai dari ribuan jarak yang memisahkan dua dunia yang seolah hidup dalam dimensi yang berbeda. Iya, kami lah anak desa, yang sering disamaratakan dalam satu stereotip, tertinggal, lugu, dan sederhana. Sebuah cap yang ditempelkan tanpa pernah benar-benar ada yang menyelami samudra tantangan yang kami arungi setiap hari, tanpa pernah memahami gemericik air mata yang kami sembunyikan di balik senyuman pasrah. Dunia melihat kami dari jauh, menganggap perjuangan kami sebagai bagian dari romantisme kehidupan pedesaan, tanpa menyadari bahwa di balik kesederhanaan itu, ada pertarungan harian untuk sekadar bisa bertahan, untuk bisa disebut “setara”.
Kami tidak tahu apa itu alat-alat canggih yang menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian kalian. Bagi kalian, genggaman smartphone adalah pintu gerbang menuju dunia tanpa batas. Bagi kami, ia adalah sebuah misteri, sebuah benda asing yang hadir seperti dari masa depan. Jari-jari kalian lincah menari di atas layar sentuh, menyelesaikan segalanya dengan beberapa ketuk. Sementara jari-jari kami, yang lebih akrab dengan cengkraman cangkul dan sabit, gemetar ketika harus menyentuh keyboard. Kami hanya bisa menulis asa pada selembar kertas di buku tulis halaman belakang, karena halaman depan sudah penuh dengan coretan-coretan pelajaran yang harus kami hafal. Setiap celah kosong adalah kanvas bagi mimpi-mimpi yang belum terucap. Tulisan kami mungkin tidak rapi, tercoreng oleh bekas penghapus yang membuat kertas tipis itu hampir sobek, tetapi di situlah kami menitipkan seluruh doa dan cita-cita yang terlalu besar untuk ditampung oleh ruang kelas kami yang sempit.
Kami tidak keberatan, sungguh, melihat kalian sudah jauh melesat, mengenal apa yang bahkan belum kami dengar namanya. Kami tidak iri. Kami hanya sibuk, sibuk sekali, untuk mengikuti sebuah perlombaan yang katanya dimulai dari garis yang sama. Padahal, kami tahu, garis start itu adalah ilusi. Ketika pistol dibunyikan, kalian sudah berlari dengan sepatu balap di lintasan yang mulus. Kami? Kami baru saja mencari sandal jepit yang hilang, dan harus memilih untuk lari di jalan berbatu atau menerobos sawah yang becek. Ketika kalian sudah fasih menggunakan laptop, tablet, atau smartphone untuk mengerjakan tugas, kami masih berjuang melawan rasa takut pada sebuah mesin bernama komputer. Tombol-tombolnya yang banyak itu bagai teka-teki silang yang rumit. Huruf ‘A’ yang baru saja kami tekan dengan penuh kemenangan kecil, tiba-tiba hilang oleh kursor yang bergerak tak karuan. Ujian berbasis komputer? Bagi kami, itu bagai hantu yang menakutkan. Bukan karena materinya, tapi karena medan pertempuran yang asing. Kami berperang dengan ketidakbiasaan, sementara kalian sudah akrab dengan senjatanya.
Ketika surya mulai menyapa di pagi hari, membelah kabut tipis di antara pepohonan, kegalauan kami bukan tentang menu sarapan atau baju apa yang akan dikenakan. Kegelisahan kami lebih primal, apakah hari ini harus mandi atau tidak. Air yang terbatas adalah sebuah kenyataan pahit yang memaksa kami untuk membuat pilihan-pilihan sulit sejak dini. Satu gayung air yang jernih adalah sebuah kemewahan. Haruskah ia digunakan untuk membasuh badan yang lengket oleh keringat malam, atau lebih baik digunakan untuk memasak nasi untuk bekal siang? Kami sering memilih yang kedua. Karena perut yang keroncongan lebih menyiksa daripada badan yang sedikit berdebu. Rasanya lebih mulia menahan rasa tidak nyaman pada tubuh sendiri daripada menahan lapar yang membuat kepala pusing dan konsentrasi belajar buyar.
Lalu, perjalanan menuju sekolah pun dimulai. Panas matahari mulai menusuk kulit. Kami berjalan dengan kaki telanjang yang hanya terlapisi sandal jepit yang sudah reot. Tidak ada sepatu kulit mahal, tidak ada kendaraan bermotor yang mengantar dengan mesin yang menderu. Debu jalan desa mengepul di belakang langkah kami. Tapi, lihatlah baik-baik, kami tidak mengeluh. Keringat yang mengucur deras tidak serta merta berarti air mata. Justru, perjalanan panjang itu kami jadikan semangat, sebuah ritual penyemangat. Di setiap langkah, kami ingat akan Ibu dan Bapak kami yang matanya berbinar penuh harap. Mereka berharap, dengan berjalan kaki pulang-pergi di bawah terik, suatu hari nanti kami bisa berjalan di jalan yang lebih mulus, mengendarai mimpi-mimpi yang mereka korbankan seluruh hidupnya untuk wujudkan. Mereka berharap, kami bisa menjadi lebih baik dari mereka, orang tua yang mungkin hanya tamat SD, tetapi memiliki lautan ilmu tentang ketabahan.
Sampai di sekolah, kami tidak pernah ambil pusing tentang kenyamanan ruangan. Kami tidak pernah mengeluh ketika panas terik menyengat masuk melalui jendela yang tidak memiliki kaca. Sementara di sana, di kota, kalian mungkin tinggal memutar tombol untuk mengatur suhu ruangan menjadi dingin atau hangat sesuai keinginan. Bagi kami, bisa duduk di bangku sekolah saja sudah merupakan sebuah anugerah yang tak ternilai. Meski atapnya bocor ketika hujan turun, memaksa kami menggeser meja untuk menghindari tetesan air. Meski dindingnya retak-retak, membiarkan angin menderu masuk dengan bebasnya. Suara gemericik air hujan yang masuk ke dalam ember-ember penampung justru menjadi musik pengiring pelajaran kami. Itu adalah pengingat bahwa kami harus kuat, seperti dinding yang retak itu yang masih tegak berdiri menahan angin.
Tahu kah kalian, wahai anak kota? Sementara kalian sibuk berdiskusi, bingung memilih mal atau kafe mana yang akan dijadikan tempat nongkrong sepulang sekolah bersama keluarga, kami, anak desa, justru bergegas pulang dengan satu pertanyaan sederhana yang mendalam: masih kah tersisa nasi di atas meja? Bekal sekolah kami bukanlah uang saku yang cukup untuk membeli jajanan kekinian. Bekal kami hanyalah pesan. Sebuah pesan yang diucapkan oleh Ibu dengan suara lembut penuh keikhlasan di pagi buta, “Belajar yang rajin ya nak, Jangan lupa berdoa.” Kalimat itulah yang menjadi bekal kami sepanjang hari, mengisi perut kosong dan jiwa yang haus akan semangat.
Kami juga tidak pernah iri dengan kasih sayang yang kalian terima dalam bentuk fisik yang nyata, orang tua yang selalu menunggu di gerbang sekolah, menjemput dengan mobil, menanyakan pelajaran dengan detail. Kami tahu, Ibu dan Bapak kami menyayangi kami dengan cara mereka sendiri, sebuah cara yang dibungkus oleh keringat dan pengorbanan. Mereka keluyuran, banting tulang entah ke mana, sejak matahari belum terbit hingga senja kembali menyapa. Mereka bekerja keras, memikul beban yang mungkin tidak akan pernah kami pahami sepenuhnya, hanya untuk memastikan bahwa kami masih bisa membayar iuran sekolah dan membeli buku-buku bekas untuk kami pelajari. Kasih sayang mereka tidak hadir dalam pelukan hangat setiap pagi, tetapi terpateri dalam setiap butir nasi yang kami makan, dalam setiap hela napas lelah mereka ketika pulang kerja. Itulah cinta yang bisu, tetapi terdengar paling keras di hati kami.
Pulang sekolah, kami kadang harus menyampaikan pada Ibu tentang fotokopi materi yang harus dibayar. Jawabannya hampir selalu sama: sebuah senyuman kecil yang mengandung seribu makna, dan kata “sabar”. Sabar, karena uang yang pas-pasan. Sabar, karena rezeki mungkin masih di jalan. Sabar, karena kami harus berjuang sedikit lebih keras, lebih lama, untuk mendapatkan sesuatu yang bagi anak kota mungkin bisa didapatkan dalam sekejap. Kesabaran itulah yang menjadi baju zirah kami. Ia mengajarkan kami arti ketabahan, arti penghargaan, dan arti perjuangan yang sesungguhnya.
Maka, bersyukurlah kalian, wahai anak kota. Bersyukurlah atas segala kemudahan yang mengelilingi kalian sejak lahir. Gedung sekolah yang megah, fasilitas yang lengkap, akses teknologi yang tak terbatas, dan jalan yang mulus menuju masa depan. Negeri ini seolah menumpukan seluruh harapannya pada pundak kalian. Kami memandang dari jauh, dengan perasaan haru. Kami tidak meminta untuk dikasihani. Tulisan ini bukanlah keluhan, melainkan sebuah pengingat sunyi. Sebuah suara dari sudut negeri yang seringkali terabaikan, namun menyimpan api semangat yang membara. Kami hanya ingin dianggap ada. Diakui sebagai bagian dari generasi bangsa yang juga memiliki mimpi dan kemampuan. Kami ingin kesempatan yang sama, bukan sekadar simpati.
Kami punya mimpi yang sama besarnya. Mimpi untuk menjadi dokter yang mengabdi di desa, insinyur yang membangun jembatan penghubung, guru yang mencerdaskan anak-anak bangsa berikutnya. Mimpi-mimpi itu kami tulis di halaman belakang buku tulis, di antara coretan-coretan pelajaran. Ia mungkin tertulis dengan pensil yang pudar, di atas kertas yang kuning, tetapi ia ditorehkan dengan tinta harapan yang paling pekat. Kami, anak desa, mungkin terlahir dengan sedikit privilege. Tapi kami dilahirkan dengan keberlimpahan tekad dan hasrat untuk membuktikan bahwa dari tanah yang gersang pun, bisa tumbuh bunga-bunga yang paling indah, yang akarnya kuat menghujam bumi, dan bunganya tetap bermekaran meski diterpa panas dan hujan. Kami adalah anak desa. Dan kami bangga dengan setiap tetes keringat, setiap langkah kaki, dan setiap harapan yang tertulis di halaman belakang buku kami. Itulah identitas kami, sebuah cerita tentang ketidakmungkinan yang terus berusaha menjadi mungkin. [SR]