Alih Fungsi Lahan Jadi Masalah Serius Petani di Lombok, Tapi Malah Diabaikan
Oke, mari kita bicara soal tanah. Bukan tanah yang dipakai buat main perang-perangan pas kecil apalagi tanah yang dijadikan kerajinan, tapi tanah yang jadi sumber kehidupan para petani di Lombok. Tanah yang seharusnya ditanami padi, jagung, atau kacang-kacangan, tapi sekarang malah berubah menjadi tanaman beton tumbuh subur jadi perumahan mewah, villa, atau bahkan hotel berbintang. Ya, inilah yang kita sebut alih fungsi lahan—sebuah fenomena yang seharusnya bikin kita semua geleng-geleng kepala, tapi entah kenapa malah diabaikan seperti status WhatsApp mantan yang udah read tapi nggak dibales.
Alih fungsi lahan di Lombok bukanlah hal baru. Sejak pariwisata di pulau ini mulai naik daun, lahan pertanian seolah menjadi korban utama. Para petani yang dulu bangga bisa menghasilkan padi berkualitas tinggi, sekarang harus rela melihat tanah mereka diubah jadi villa dengan kolam renang infinity yang menghadap langsung ke Gunung Rinjani. Lucu ya? Tanah yang dulu dipakai buat menanam sumber makanan, sekarang dipakai buat selfie sambil minum kopi kekinian.
Tapi, jangan salah sangka dulu. Saya nggak anti-pariwisata. Pariwisata itu penting, apalagi buat daerah seperti Lombok yang punya potensi alam luar biasa. Tapi, kalau sampai mengorbankan lahan pertanian yang notabene adalah sumber pangan, ya itu namanya overdosis. Bayangkan, petani yang dulu bisa makan dari hasil tanam sendiri, sekarang harus beli beras impor karena lahannya udah jadi resort. Ironis, bukan?. Jangan sampai terbalik, hutan yang dirusak dijadikan persawahan kan lucu, mengatasi masalah dengan masalah dong namanya……
Alih fungsi lahan nggak cuma bikin petani kehilangan mata pencaharian. Ini juga memicu efek domino yang bikin pusing tujuh keliling. Hilangnya lahan pertanian berarti berkurangnya produksi pangan lokal. Lombok yang dulu dikenal sebagai lumbung padi, sekarang harus rela menerima impor beras dari daerah lain. Alih fungsi lahan juga bikin harga tanah melambung tinggi. Petani kecil yang tadinya punya lahan, sekarang terpaksa menjual tanahnya karena tawaran harga yang menggiurkan. Tapi, setelah tanahnya habis, mau ngapain lagi?
Ini yang paling bikin gregetan, alih fungsi lahan seringkali dilakukan tanpa perencanaan yang matang. Villa dan hotel dan bahkan bagunan perumahan dibangun seenaknya, tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan. Akibatnya, terjadi kerusakan ekosistem, banjir saat musim hujan, dan kekeringan saat musim kemarau. Jadi, selain petani yang menderita, alam pun ikut merana.
Nah, di tengah masalah serius ini, di mana peran pemerintah? Seharusnya, pemerintah bisa jadi penengah yang adil, memastikan bahwa pembangunan pariwisata tidak mengorbankan sektor pertanian. Tapi, apa yang terjadi? Alih-alih membuat kebijakan yang pro-petani, para pejabat malah sibuk berfoto ria di acara groundbreaking proyek-proyek megah.
Saya nggak bilang semua pejabat begitu, tapi coba deh lihat realitanya. Ketika petani protes karena lahannya diambil alih, respon pemerintah seringkali lambat. Tapi, ketika ada investor mau bangun hotel, proses perizinannya bisa secepat kilat. Ini namanya prioritas yang salah tempat. Padahal, kalau mau jujur, petani itu adalah pahlawan pangan. Tanpa mereka, kita semua mungkin cuma bisa makan nasi dari foto di Instagram.
Lalu, apa yang harus dilakukan? Pemerintah perlu membuat regulasi yang ketat terkait alih fungsi lahan. Sebenarnya regulasi sudah ada dan bahkan ada areal hijau untuk persawahan yang HARAM untuk dialih fungsikan tapi hemmmmm. Jangan sampai lahan pertanian produktif diubah jadi proyek-proyek yang nggak jelas. Perlu ada upaya yang menarik terutama terkait pasar dan harga yang satbil bagi petani agar mereka tetap mau bertani. Misalnya, memberikan bantuan modal, pupuk, atau akses pasar yang lebih baik.
Edukasi juga penting. Banyak petani yang menjual tanahnya karena tergiur harga tinggi, tapi nggak sadar bahwa itu justru bikin mereka kehilangan sumber penghidupan jangka panjang. Nah, di sinilah peran pemerintah dan NGO untuk memberikan penyadaran tentang pentingnya mempertahankan lahan pertanian.
Perlu ada sinergi antara sektor pariwisata dan pertanian. Misalnya, mengembangkan agrowisata di mana turis bisa belajar bertani sambil menikmati keindahan alam Lombok. Jadi, petani tetap bisa bertani, tapi juga dapat penghasilan tambahan dari pariwisata. Win-win solution, kan?
Sekarang, mari kita selingi dengan sedikit guyon. Soalnya, kalau nggak ada guyon, tulisan ini bakal terlalu berat kayak bawa karung beras 50 kilo. Jadi, begini kalau ada pejabat yang baca tulisan ini, mungkin mereka akan bilang, “Loh, kami kan sudah berusaha!” Ya, betul, Bapak/Ibu pejabat memang sudah berusaha. Tapi, mungkin usahanya lebih banyak buat nge-like postingan Instagram daripada bikin kebijakan yang pro-petani.
Atau mungkin ada yang bilang, “Ini kan tuntutan zaman, pemukiman dan pariwisata itu penting!” Betul, pemukiman dan pariwisata itu penting. Tapi, kalau sampai petani harus jadi korban, apa iya itu namanya pembangunan? Apa iya kita mau jadi bangsa yang keren di Instagram, tapi nggak bisa makan nasi dari hasil sendiri?. Lombok di kenal daerah dengan luasan lahan kering yang sangat luas, tapi jarang terpikirkan. Ya kan… itu solusi sebenarnya buat pemukiman bukan sebaliknya lahan basah nan subur dijadikan pemukiman, kebalik dongg..
Jadi, Bapak/Ibu pejabat, tolong dong perhatikan nasib petani. Jangan cuma sibuk potong pita waktu ada proyek baru. Ingat, petani itu nggak bisa hidup dari foto-foto di media sosial. Mereka butuh tanah untuk bertani, butuh air untuk mengairi sawah, dan butuh kebijakan yang memihak mereka.
Alih fungsi lahan di Lombok adalah masalah serius yang nggak bisa diabaikan. Ini bukan cuma urusan petani, tapi urusan kita semua. Kalau petani menderita, kita semua juga yang akan merasakan dampaknya. Jadi, mari kita bersuara, mendorong pemerintah untuk membuat kebijakan yang lebih adil, dan mendukung petani agar mereka bisa terus menghidupi kita semua.
Dan untuk para pejabat, tolong dong. Turun ke sawah, ngobrol sama petani, dan rasakan langsung apa yang mereka alami. Siapa tahu, setelah itu, kebijakan yang dibuat jadi lebih manusiawi. Sekian tulisan ini. Semoga bisa jadi bahan renungan, atau setidaknya jadi bacaan yang menghibur sambil ngopi. Karena, seperti kata orang bijak, “Tanpa petani, kita cuma bisa makan Kenangan.” [SR]