Swasembada Beras dan Lompatan Visi Pangan Indonesia di Bawah Kepemimpinan Prabowo
Menteri Pertanian kita, yang energik dan penuh target, baru saja mengumumkan sesuatu yang luar biasa kaitanya dengan pangan kita mendekati titik ujung target swasembada. Andi Amran Sulaiman, sang pelari sprint di kabinet, menyatakan bahwa Indonesia sudah mencapai swasembada beras. Target yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto itu konon sudah tercapai dalam waktu satu tahun saja. Bukan empat tahun, bukan tiga tahun, tapi satu tahun. Sebuah lompatan waktu yang membuat para perencana proyek jangka menengah pemerintah mana pun jadi meringis.
Bapak Presiden, kata Amran, awalnya memberi waktu empat tahun untuk urusan swasembada pangan ini. Lalu, entah karena terlalu semangat atau terlalu percaya diri, waktu itu dipersingkat jadi tiga tahun setelah 21 hari. Dan, dalam tempo 45 hari, targetnya berubah lagi, harus selesai dalam setahun. Dan hari ini, kata Amran, target itu sudah terpenuhi. Sebuah pencapaian yang membuat kita bertanya-tanya: apakah ini keberhasilan manajemen waktu atau semacam keajaiban aritmetika politik?
Amran, dengan penuh keyakinan, menyebut bahwa dalam dua hingga tiga bulan ke depan, Indonesia tidak akan impor beras lagi. Tentu saja, dengan satu syarat klasik yaitu tidak ada cuaca ekstrem yang mengganggu. Sebuah disclaimer yang selalu diselipkan para pejabat sejak zaman nenek moyang kita dulu. Tapi, siapa yang bisa melawan alam?
Data BPS pun dikeluarkan sebagai bukti. Produksi beras domestik disebutkan mencapai 33,1 juta ton per November 2025, dan diproyeksikan naik jadi 34 juta ton di akhir tahun. Angka itu, katanya, meningkat hampir 4 juta ton dari tahun 2024. Konon, peningkatan produksi kita adalah yang terbesar kedua di dunia setelah Brasil. Sebuah prestasi yang patut diacungi jempol, jika datanya akurat dan tidak ada yang “dikreatifkan” di belakang layar.
Tapi, Amran tidak berhenti di situ. Dia bilang, kesejahteraan petani juga meningkat. Indeks NTP petani menyentuh angka 124,36 pada September 2025, jauh di atas target pemerintah yang cuma 110. Harga beras bahkan mengalami deflasi 0,13 persen yang katanya pertama kali dalam lima tahun. Sebuah kabar baik yang mungkin bikin para petani tersenyum, meski kita tidak tahu apakah senyum itu karena lega atau sekadar basa-basi.
Lalu, sang menteri yang penuh optimisme ini sudah melompat lebih jauh. Swasembada beras, katanya, baru langkah awal. Visi Prabowo berikutnya adalah menjadikan Indonesia lumbung pangan dunia. Mimpi yang cukup besar untuk negeri yang dulu harus impor beras secara rutin. Tapi, siapa yang tidak boleh bermimpi?
Amran kemudian bicara tentang “downstreaming” sebuah kata yang belakangan sering diucapkan para pejabat seolah-olah itu mantra ajaib. Pemerintah, katanya, akan menggenjot hilirisasi untuk komoditas seperti kelapa, kakao, sawit, dan gambir. Kelapa, misalnya, produksinya naik dari 29 juta ton tahun lalu menjadi 33 juta ton tahun ini. Dan, dia dengan nada lantang menegaskan tidak akan lagi ekspor kelapa mentah. Semua harus diolah jadi santan atau minyak kelapa murni, yang katanya bisa menaikkan nilai tambah hingga 100 kali lipat.
Dia bahkan menyebut angka yang bikin mata berkedip, hilirisasi industri kelapa bisa menghasilkan nilai ekspor Rp 2.400 triliun. Atau, setidaknya, separuhnya yaitu Rp 1.200 triliun. Sebuah angka fantastis yang membuat kita bertanya-tanya, apakah ini realitas atau sekadar imajinasi finansial?
Untuk mewujudkan semua itu, Kementan menggelontorkan anggaran tambahan hampir Rp 10 triliun untuk program bibit gratis bagi petani di seluruh Indonesia. Bibit kakao, kopi, kelapa, mete, dan pala akan dibagikan secara cuma-cuma di lahan seluas 800 ribu hektar. Program ini, klaim Amran, akan menciptakan 1,6 juta lapangan kerja baru dalam dua tahun. Sebuah janji yang jika terealisasi bisa mengubah wajah pertanian Indonesia.
Amran juga paham bahwa urusan pertanian tidak hanya soal bibit dan produksi, tapi juga birokrasi. Dia menyebut sudah menerbitkan 17 instruksi presiden untuk menyederhanakan distribusi pupuk, memperkuat irigasi, dan memangkas prosedur birokrasi. Dulu, katanya, distribusi pupuk butuh tanda tangan 12 menteri, 38 gubernur, dan 514 bupati. Sekarang, cukup tiga langkah. Sebuah efisiensi yang patut diacungi jempol, meski kita penasaran, bagaimana caranya memangkas rantai birokrasi yang selama ini begitu gemuk dan ruwet?
Dengan semua langkah itu upaya swasembada, hilirisasi, dan reformasi regulasi menteri Amran yakin Indonesia bisa menjadi lumbung pangan dunia dalam tiga tahun. Sebuah mimpi yang begitu besar, tapi juga penuh tantangan. Kita hanya bisa berharap ini bukan sekadar narasi indah di atas kertas, tapi benar-benar terwujud. Karena, urusan pangan bukan cuma soal target dan angka, tapi juga soal perut puluhan juta orang yang harus terisi setiap hari. [SR]
