Politik

Tantangan Gubernur NTB Baru Menjamin Zero Suap Jabatan

Promosi jabatan. Dua kata yang bisa bikin deg-degan bagi para pegawai, entah itu di sektor swasta, BUMN, atau instansi pemerintah. Bagi sebagian besar ASN (Aparatur Sipil Negara), promosi jabatan bukan sekadar urusan naik gaji, tapi juga soal gengsi. Ya, gengsi di kantor, di keluarga, bahkan di masyarakat. Promosi jabatan itu bukan cuma buat cari makan, tapi juga cari nama. Dan, demi nama itu, banyak yang rela melakukan apa saja, termasuk hal-hal yang seharusnya nggak dilakukan.

Nah, di sinilah tantangan besar bagi Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) yang baru, Lalu Muhammad Iqbal. Bagaimana caranya memastikan bahwa promosi jabatan di NTB benar-benar bersih dari praktik suap dan jual beli jabatan. Sebab, kalau kita lihat realitasnya, praktik suap jabatan ini sudah seperti “tradisi” yang susah dihilangkan. Ibaratnya, sudah jadi “budaya” yang mengakar kuat di birokrasi kita.

Di dunia birokrasi, ada “profesi” yang sebenarnya nggak resmi tapi selalu laris manis yaitu “makelar jabatan”. Ya, mereka ini ibarat “calo” yang siap memfasilitasi para pegawai yang ingin naik jabatan. Entah itu dari dalam birokrasi sendiri atau dari luar, mereka punya “koneksi” dan “pengaruh” untuk memuluskan jalan menuju kursi jabatan impian. Dan, tentu saja, semua itu nggak gratis. Ada tarifnya. Konon, setiap jabatan punya “harga” yang berbeda-beda, tergantung level dan instansinya.

Bayangkan, ada ASN yang rela merogoh kocek dalam dalam bahkan sampai ratusan juta rupiah dan bahkan lebih hanya demi sebuah jabatan. Dan, di sisi lain, ada juga para makelar yang siap memanfaatkan situasi ini. Mereka ibarat “pemburu rente” yang mencari keuntungan dari ambisi orang lain. Ironisnya, praktik seperti ini sudah terjadi sejak lama, bahkan sebelum era reformasi birokrasi. Dan, meski sudah dua dekade lebih reformasi birokrasi digaungkan, praktik suap jabatan ini masih saja ada. Bahkan, katanya, perputaran uangnya bisa mencapai triliunan rupiah. Wow!

Menurut Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Sofian Effendi, perputaran uang dalam proses pengisian jabatan (promosi-mutasi) di pemerintah daerah diperkirakan mencapai lebih dari Rp 35 triliun. Angka ini baru untuk jabatan setara eselon II dan III lho. Kalau ditambah dengan eselon IV, bisa-bisa angkanya makin menggelembung. Dan, praktik ini nggak cuma terjadi di satu dua daerah, tapi hampir di seluruh Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Sofian juga menyebutkan bahwa ada “tarif” khusus untuk setiap jabatan. Misalnya, untuk jabatan kepala dinas di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, “harganya” bisa mencapai Rp 1 miliar per jabatan. Bahkan, dalam proses pengangkatan 250 ribu pegawai per tahun, sedikitnya separuhnya diduga melibatkan percaloan dengan rata-rata Rp 100 juta per orang. Bayangkan, betapa besar uang yang berputar dalam bisnis suap jabatan ini.

Tapi, meski praktik ini dikatakan masif, hanya sedikit yang akhirnya diproses hukum. Sejauh ini, baru ada beberapa kasus yang berhasil diungkap, seperti kasus Bupati Klaten, Sri Hartini, yang divonis 11 tahun penjara karena terlibat suap jabatan. Lalu, ada juga kasus Romahurmuziy cs di Kementerian Agama dan Bupati Kudus, M. Tamzil cs, yang tersandung kasus serupa. Terbaru, Bupati Pemalang juga terseret dalam pusaran jual beli jabatan. Tapi, lagi-lagi, ini hanya segelintir kasus yang terungkap. Masih banyak yang belum tersentuh.

Pemerintah sebenarnya sudah berusaha untuk memerangi praktik suap jabatan ini. Salah satunya dengan memperkenalkan model promosi terbuka untuk jabatan tinggi setara eselon I dan II. Tapi, nggak bisa dipungkiri, masih ada celah-celah yang bisa dimanfaatkan untuk praktik suap. Misalnya, dalam proses seleksi, panitia hanya bertugas menentukan tiga besar terbaik. Nah, di sini masalahnya. Peringkat pertama nggak selalu jadi pemenang. Bisa saja peringkat kedua atau ketiga yang akhirnya dilantik. Ini bisa jadi celah untuk transaksi suap.

Belum lagi, ada juga kasus di mana calon pejabat sudah “ditetapkan” sebelum proses seleksi dibuka. Jadi, peserta lain hanya jadi “boneka” untuk memenuhi syarat seleksi minimal tiga pelamar. Ya, namanya juga “calon pendamping”, mereka mungkin cuma dapat “uang lelah” untuk ikut seleksi. Tapi, ini jelas nggak sehat dan membuka peluang suap.

Nah, di sinilah tantangan besar bagi Gubernur NTB yang akrab disapa miq Iqbal. Bagaimana caranya menutup celah-celah ini dan memastikan bahwa promosi jabatan di NTB benar-benar bersih dari suap. Apalagi, NTB bukanlah daerah yang kecil. Dengan jumlah ASN yang cukup banyak, proses pengisian jabatan pasti jadi tantangan tersendiri.

Thomas Hobbes pernah bilang, manusia itu hommo homini lupus manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Artinya, manusia bisa sangat kejam terhadap sesamanya. Sementara, John Stuart Mill menyebut manusia sebagai homo economicus manusia yang selalu memanfaatkan peluang sekecil apa pun untuk keuntungan diri sendiri. Nah, dalam konteks promosi jabatan, kedua sifat manusia ini bisa muncul dengan sangat jelas.

Demi sebuah jabatan, nggak jarang ASN saling sikut, saling menjatuhkan, bahkan menghalalkan segala cara. Ambisi untuk naik jabatan bisa membuat orang lupa diri. Apalagi, kalau ada “peluang” untuk menyuap atau disuap. Ini yang harus diwaspadai.

Saat ini, proses rekrutmen ASN sudah mengedepankan sistem merit kompetensi dan integritas. Tapi, apakah sistem ini sudah cukup efektif untuk menghilangkan praktik suap jabatan? Mungkin belum. Masih ada celah-celah yang bisa dimanfaatkan.

Menjaga NTB dari “Budaya” Suap Jabatan

Gubernur NTB yang baru, Miq Iqbal, punya tugas berat untuk memastikan bahwa birokrasi di NTB benar-benar bersih dari praktik suap jabatan. Apalagi, NTB adalah daerah yang sedang berkembang dan membutuhkan pemimpin serta birokrat yang kompeten dan berintegritas.

Miq Iqbal perlu memastikan bahwa proses promosi jabatan di NTB benar-benar transparan dan berdasarkan merit. Nggak ada lagi “calo” atau “makelar” yang memanfaatkan ambisi para ASN. Menutup celah-celah yang bisa dimanfaatkan untuk praktik suap, seperti sistem seleksi yang masih bisa dimanipulasi.

Selain itu, Miq Iqbal juga perlu membangun budaya kerja yang sehat di kalangan ASN. Nggak cuma sekadar naik jabatan, tapi juga bagaimana ASN bisa memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan NTB. Jadi, promosi jabatan nggak lagi dilihat sebagai ajang “cari nama” atau “cari gengsi”, tapi sebagai bentuk penghargaan atas kinerja dan pengabdian.

Mimpi Besar untuk NTB yang Lebih Baik

Membangun birokrasi yang bersih dan bebas dari suap jabatan bukanlah hal yang mudah. Butuh komitmen dan keberanian dari pemimpin untuk melakukan perubahan. Lalu Muhammad Iqbal, sebagai gubernur baru, punya peluang besar untuk membawa NTB ke arah yang lebih baik. Tapi, dia juga punya tantangan besar untuk memastikan bahwa birokrasi di NTB benar-benar bersih dari praktik suap.

Mungkin, dengan mengadopsi sistem yang lebih transparan dan berbasis merit, Miq Iqbal bisa memulai perubahan ini. Tapi, yang paling penting adalah komitmen dan konsistensi. Nggak cuma sekadar wacana, tapi benar-benar diimplementasikan. Kalau berhasil, bukan nggak mungkin NTB bisa jadi contoh bagi daerah lain dalam memberantas praktik suap jabatan.

Jadi, selamat bekerja, Pak Gubernur dan Ibu Wakil Gubernur. Semoga NTB bisa jadi lebih baik, dan kita nggak perlu lagi dengar cerita tentang “makelar jabatan” atau “uang lelah” dalam proses promosi. Amin! [SR]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *