POPT Jangan Bersedih, Kalian Luar Biasa
Dalam dunia pertanian, ada dua profesi yang sering disebut-sebut sebagai ujung tombak pembangunan pertanian, Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) dan Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan (POPT). Keduanya sama-sama berjuang di lapangan, berhadapan langsung dengan petani, dan berusaha memastikan produksi pertanian berjalan lancar. Namun, nasib kedua profesi ini ibarat langit dan bumi. Jika PPL sering dielu-elukan dan dianggap sebagai pahlawan pertanian, nasib POPT justru sering terabaikan, bahkan terkesan dipandang sebelah mata. Tugas mereka berat, tapi hak yang mereka terima tidak sebanding dengan rekan kerjanya, si PPL.
POPT adalah garda terdepan dalam mengendalikan serangan hama dan penyakit tanaman. Mereka adalah orang-orang yang harus siap siaga 24 jam, karena serangan hama tidak pernah mengenal waktu. Ketika petani panik karena sawahnya diserang wereng, siapa yang dipanggil? POPT. Ketika tanaman cabai tiba-tiba layu karena serangan virus, siapa yang dimintai solusi? POPT lagi. Mereka adalah “dokter tanaman” yang harus bisa mendiagnosis masalah dan memberikan resep yang tepat.
Tapi, apa yang mereka dapatkan? Hak-hak sebagai petugas lapang pertanian yang seringkali tidak sebanding dengan beban kerja. Sementara PPL, yang juga memiliki peran penting, seringkali mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah. PPL dianggap sebagai penyambung lidah antara petani dan pemerintah, sementara POPT hanya dianggap sebagai “tukang semprot hama” seperti ucapan pak Wamentan ketika menanggapi peran POPT yang disebut sebagi tukang Basmi Hama, tu….kan… tupoksi anak buah di lapangan aja dikira tukang hehehehehe.
Mari kita bandingkan tugas dan hak POPT dengan PPL. PPL bertugas memberikan penyuluhan kepada petani, membantu mereka memahami teknologi pertanian terbaru, dan memastikan program pemerintah sampai ke tingkat akar rumput. Tugas ini tentu tidak mudah, tapi PPL seringkali mendapatkan pelatihan, insentif, dan fasilitas yang memadai. Mereka juga sering diundang dalam berbagai acara pertanian, bahkan tidak jarang mendapatkan penghargaan.
Sementara POPT, tugasnya jauh lebih berat. Mereka harus memantau serangan hama, mengidentifikasi jenis hama, menentukan metode pengendalian, dan turun langsung ke lapangan untuk melakukan pengendalian atau evaluasi hasil pengendalian. Mereka juga harus membuat laporan detail tentang perkembangan hama dan penyakit tanaman. Semua ini dilakukan dengan risiko kesehatan yang tinggi, karena mereka sering terpapar bahan kimia berbahaya. POPT memiliki wilayah kerja 1 orang 1 kecamatan, dan bahkan ada yang lebih hingga 3 kecamatan.
Tapi, apa yang mereka dapatkan? fasilitas yang minim, dan jarang sekali mendapatkan apresiasi. Bahkan, tidak jarang POPT harus mengeluarkan uang pribadi untuk menjalankan misi bersama para petani entah dalam bentuk alat praga atau lainnya. Sungguh ironis, bukan?
Pemerintah dalam hal ini para jajaran Kementerian Pertanian seringkali mengklaim bahwa sektor pertanian adalah prioritas utama. Tapi, bagaimana mungkin sektor ini bisa maju jika para pejuangnya, seperti POPT, justru diperlakukan dengan tidak adil? Sudah saatnya pemerintah memberikan perhatian yang sama kepada POPT seperti yang diberikan kepada PPL.
POPT bekerja keras, seringkali dalam kondisi yang berbahaya, dan mereka layak mendapatkan kompensasi yang sesuai. Sering kali ketika terjadi bencana seperti banjir POPT selalu diminta mealkukan monitoring. Data menjadi alasan utama POPT harus kelokasi. Kerjaan tidak sebanding dengan dukungan fasilitas yang memadai. Mulai dari alat pelindung diri, kendaraan operasional, hingga akses ke teknologi terbaru untuk memudahkan tugas mereka. Tidak terhenti di fasilitas sering kali POPT terkendala dalam akses pelatihan dan pengembangan karir. POPT juga manusia, mereka butuh peningkatan kapasitas dan kesempatan untuk berkembang.
Harus jadiperhatian bersama regenarasi POPT kian mengkhawtirkan, POPT berstatus ASN sangat minim, rata-rata POPT direkrut dari tenaga honorer dan bahkan ada yang sukarela. Ini yang perlu mendapatkan perhatian serius. Tenaga honorer atau pegawai baru ini jarang sekali mendapatkan pelatihan atau peningkatan kapasistas sebagai seorang POPT, Walaupun pemerintah dalam hal ini kementan sering melakukan bimtek online. Ingat ya…..Pelatihan secara Online berbeda hasil jika dibandingkan Offline. Dan Jangan sampai nasib POPT seperti lagu “Ibu Pertiwi” yang hanya dikenang saat dibutuhkan, tapi dilupakan saat tugas selesai. Mereka adalah bagian dari pendukung program walupun terkadang tidak dilibatkan didalamnya. Petugas POPT yang seharusnya mendapatkan tempat terhormat dalam pembangunan pertanian karna garda terdepan dalam pengamanan Produksi. Jangan hanya dicari-cari saat Produksi bergejolak. Jangan hanya sebagai kambing hitam Ketahanan pangan.
Kalau mau bercanda, nasib POPT ini mirip seperti adik bungsu yang selalu kalah pamor dengan kakak sulungnya, si PPL. PPL selalu dapat perhatian lebih, sementara POPT hanya dianggap sebagai “anak bawang” atau mungkin hanya sebagai anak tiri atau lebih sadis anak pungut. PPL sering diundang ke acara-acara resmi, sementara POPT hanya dipanggil saat ada serangan hama. PPL dapat fasilitas lengkap, sementara POPT harus berjuang dengan alat seadanya.
Tapi, jangan salah. Meski sering diabaikan, POPT punya senjata rahasia mereka adalah ahli dalam meramu senjata biologis, masih ingatkah kasus covid 19???…. kaitanya apa??? Silahkan pikir sendiri.
Nasib POPT mungkin masih suram saat ini, tapi bukan berarti tidak ada harapan. Sudah saatnya semua pemangku kebijakan, mulai dari level kepala Dinas, Bupati, Gubernur, Dirjen hingga menteri memberikan apresiasi yang layak kepada POPT. Mereka adalah pahlawan yang berjuang di balik layar, memastikan bahwa kita semua bisa menikmati hasil pertanian yang melimpah.
Mari kita berharap, suatu saat nanti, nasib POPT akan semanis rekan kerjanya, si PPL. Mereka layak mendapatkan gaji yang layak, fasilitas yang memadai, dan apresiasi yang setara. Karena tanpa mereka, siapa yang akan melindungi tanaman kita dari serangan hama dan dampak perubahan iklim?
POPT, Tetap Semangat!
Untuk semua POPT di luar sana, meski nasib kita seringkali tidak seberuntung rekan kerja di lapangan, jangan pernah menyerah. Tugas kita mungkin berat, tapi sangat mulia. Kita adalah orang yang penih rasa sigap dalam menjaga ketahanan pangan negeri ini. Teruslah berjuang, dan semoga suatu hari nanti, jerih payah kita akan mendapatkan apresiasi yang layak. Sampai saat itu tiba, tetaplah tersenyum, karena kalian adalah pejuang sejati! Tidak perlu menunduk terlalu bawah saat nama kita tidak terucap dari mulut para pejabat saat panen raya tiba.
Tulisan ini dibuat dengan penuh rasa hormat kepada semua POPT dan PPL. Kritik dan guyonan di atas hanya sebagai bahan refleksi, bukan untuk mengecilkan peran salah satu pihak. Semoga tulisan ini bisa menjadi pengingat bahwa setiap profesi memiliki nilai dan kontribusi yang tak ternilai. [SR]