Cerita

Kampung Yang Penuh Edukasi dan Kebahagiaan

Setiap orang menyimpan peta kenangannya sendiri. Sebagian di antaranya mungkin diwarnai bayang-bayang kelam, namun peta kenangan saya justru diterangi oleh cahaya mentari yang hangat, terpatri di sebuah kampung kecil di ujung timur Pulau Lombok, tempat di mana kebahagiaan ditemukan, bukan dicari-cari. Namanya Kampung Batumas. Sebuah nama yang kerap disangka orang berasal dari “batu yang mengandung emas”, atau lelucon tentang orang Jawa yang biasa disapa ‘Mas’. Namun, Batumas menyimpan cerita yang jauh lebih sederhana dan jauh lebih indah: ia adalah anak kandung dari kesederhanaan dan keyakinan. ‘Batu’ diambil dari nama desa induknya, Batuyang, yang konon dahulu kala terdapat sebuah batu raksasa. Sedangkan ‘Mas’ adalah singkatan dari Masjid, karena posisinya yang berdekatan dengan rumah ibadah itu. Dari sanalah, Batumas lahir, sebuah permukiman yang pada awal 90-an hanya dihuni sekitar 30 Kepala Keluarga, dan kini telah berkembang menjadi lebih dari 500 KK, membentuk mosaik kehidupan yang ramai dan berwarna.

Perjalanan saya di Batumas dimulai pada tahun 1997, sebuah tahun yang menjadi penanda besar bagi Indonesia, dan juga bagi keluarga kecil saya. Orang tua saya memutuskan untuk memutus tali ketergantungan dari keluarga besar dan merajut kehidupan baru di sepetak tanah yang, kala itu, terasa seperti pulau terpencil di tengah hamparan zamrud persawahan. Bayangkan, rumah kami bagai mutiara yang terletak tepat di jantung sawah, dengan halaman seluas tujuh are yang menjadi kerajaan tak terbantahkan bagi saya dan segelintir anak-anak tetangga. Suara yang mengisi hari-hari adalah desir angin yang membelai padi, kicau burung, dan tawa riang kami, bukan deru motor atau hiruk-pikuk kota.

Seiring roda zaman berputar, Batumas pun bertransformasi. Rumah kami yang dulu kesepian, perlahan-lahan dikelilingi oleh bangunan-bangunan baru. Tetangga bertambah, teman bermain pun berlipat ganda. Sawah-sawah itu masih ada, tetapi kini ia berbagi ruang dengan kehidupan yang kian dinamis. Namun, dampak terindah dari semua pertumbuhan ini bagi saya, seorang anak kecil waktu itu, adalah semakin berisik dan riuhnya suasana bermain. Kampung itu hidup, dan kami, anak-anaknya, adalah nadinya.

Sungai, Sawah, dan Surga Kecil yang Terkubur Waktu

Pulang sekolah adalah ritual sukacita. Tas sekolah akan terbang mendarat di sudut rumah, seragam diganti dengan baju usang yang siap kotor, dan kami pun beriringan menuju sungai. Sungai itu bukan sekadar aliran air; ia adalah taman hiburan terbaik yang pernah ada. Airnya jernih kebiruan, berasal dari sumber abadi Gunung Rinjani yang megah. Di sanalah kami belajar berenang dengan gaya “bebas” yang khas anak kampung, menangkap ikan dengan tangan kosong atau jaring improvisasi dari kain, atau sekadar membangun istana pasir dan rumah-rumahan dari batu. Setiap cipratan air adalah gelak tawa, setiap ikan yang berhasil ditangkap adalah medali kemenangan. Sungai itu mengajarkan kami tentang kesabaran, keberanian, dan arti kebersamaan yang sesungguhnya.

Di belakang rumah, hamparan sawah yang luas menjadi stadion megah bagi imajinasi kami. Musim kemarau adalah waktunya bermain layang-layang hingga langit berwarna jingga. Layang-layang dari bilah bambu dan kertas minyak itu menerbangkan mimpi-mimpi kami tinggi-tinggi. Sedangkan saat panen tiba, padi yang telah menguning dan dipotong meninggalkan batang-batang (tunggul padi) yang menjadi medan petualangan untuk bermain kejar-kejaran atau sembunyi-sembunyian. Namanya memang anak-anak, di kepala kami hanya ada dua kata: teman dan permainan. Benarlah kata banyak orang, masa kecil adalah masa yang paling membahagiakan. Sebab di masa itu, beban hidup masih menjadi tanggung jawab orang tua, dan pikiran kami masih bebas menjelajah tanpa terpenjara oleh kompleksitas pemikiran orang dewasa.

Melangkah ke Masa Lalu: Arena Permainan Tradisional Batumas

Zaman kecil saya adalah zaman di mana teknologi masih menjadi barang mewah dan asing. Tak ada Playstation, Game Boy, atau gadget canggih. Televisi pun adalah barang langka; satu desa mungkin hanya memiliki beberapa unit, itupun dengan layar hitam-putih yang penuh “semut”. Justru dari keterbatasan itulah kreativitas kami lahir. Kami menciptakan permainan kami sendiri, dengan alat-alat dari alam, dan aturan-aturan yang kami sepakati bersama. Inilah beberapa mahakarya permainan yang mewarnai hari-hari kami di Batumas, sebuah warisan yang sayang untuk punah.

  1. Dengklak: Seni Menari di Atas Garis

Permainan pertama yang tak mungkin terlupakan adalah Dengklak. Mungkin di daerah lain ia dikenal dengan nama Engklek atau Sondah. Tapi bagi kami, ia adalah Dengklak, sebuah permainan yang menguji keseimbangan, ketepatan, dan strategi.

Dengklak dimainkan di atas diagram atau “papan” yang digambar di tanah, biasanya menggunakan kapur tulis atau pecahan batu bata. Keindahannya terletak pada variasi bentuknya. Ada yang berbentuk pesawat, kami sebut Dengklak Pesawat. Ada yang menyerupai kubah, dinamai Dengklak Masjid. Yang paling umum adalah bentuk segi empat dengan delapan kotak, empat di kiri dan empat di kanan, yang kami sebut Dengklak Sasok.

Permainan ini dimulai dengan sebuah benda kecil yang disebut katuk, semacam “gaco” atau bidak. Katuk biasanya terbuat dari pecahan genteng yang dibentuk bulat atau persegi. Saya sendiri punya katuk ajaib berbentuk lingkaran yang selalu menjadi jimat andalan.

Mekanisme permainannya seperti sebuah tarian ritual yang penuh tahapan:

  • Tahap 1: Melewati Kotak. Pemain melemparkan katuk ke kotak pertama, lalu harus melompati kotak tersebut dengan satu kaki, melewati semua kotak secara berurutan tanpa menginjak garis atau kotak yang berisi katuk.
  • Tahap 2: Beluar. Katuk dilempar keluar area permainan. Pemain harus mengambilnya dengan membelakangi katuk, sebuah ujian kelenturan dan perkiraan.
  • Tahap 3: Keseimbangan Jari. Katuk diletakkan di atas dua jari, dan pemain harus berjalan melewati setiap kotak hingga finish tanpa menjatuhkannya.
  • Tahap 4: Nae Ajong. Katuk ditaruh di punggung kaki, dan pemain harus mengoyangkannya sambil berjalan mengelilingi diagram. Ini adalah tahap yang paling sulit!
  • Tahap 5: Otak-Otak. Katuk kini ditaruh di atas kepala. Konsentrasi dan keseimbangan mutlak diperlukan.
  • Tahap 6: Arak-Arak. Tantangan terberat! Pemain harus menutup mata sambil menengadahkan kepala ke langit, dan berjalan melewati semua kotak tanpa melanggar aturan. Sebuah ujian kejujuran yang sebenarnya.
  • Tahap 7: Minak Bale (Membuat Rumah). Inilah puncaknya. Pemain yang berhasil melewati tahapan berhak “mengklaim” satu kotak sebagai “rumah”-nya. Kotak ini tidak boleh diinjak lawan, sehingga mempersulit pergerakan mereka. Strategi penempatan rumah sangat menentukan kemenangan.
  • Tahap 8: Kemenangan dan Hukuman. Jika semua kotak telah menjadi rumah, pemain dengan rumah terbanyak menang. Yang kalah harus rela digendong keliling area permainan oleh sang pemenang.

Dengklak adalah lebih dari sekadar permainan. Ia adalah sekolah kehidupan kecil yang mengajarkan konsentrasi, disiplin, sportivitas, dan kerja sama. Dan yang terpenting, ia gratis! Hanya perlu sepetak tanah rata dan imajinasi.

  1. Santek: Kejar-Kejaran dengan Ibu dan Anak Kayu

Permainan kedua yang tak kalah seru adalah Santek. Nama ini mungkin sangat unik dan lokal. Permainan ini mengandalkan dua potong kayu dengan ukuran berbeda: yang panjang sekitar 30 cm disebut Inaq Santek (Ibu Santek), dan yang pendek sekitar 10 cm disebut Anak Santek.

Santek biasanya dimainkan di atas tanah dengan sebuah lubang kecil berbentuk setengah lingkaran. Cara bermainnya penuh dengan ketegangan:

  1. Suit/Pengundian: Untuk menentukan siapa yang bermain pertama.
  2. Ungkit dan Tangkap: Tim yang menang suit mengungkit Anak Santek sejauh mungkin ke arah lawan. Tim lawan harus berusaha menangkap kayu itu di udara. Jika tertangkap, maka terjadi pergantian pemain. Jika tidak, permainan berlanjut.
  3. Lempar ke Sasaran: Tim lawan yang gagal menangkap kemudian melemparkan Anak Santek ke arah Inaq Santek yang diletakkan di atas lubang. Jika kena, pergantian pemain terjadi. Jika meleset, tim pertama mendapat kesempatan untuk memukul.
  4. Pemukulan: Tim pertama melempar Anak Santek ke atas, lalu memukulnya sekuat-kuatnya dengan Inaq Santek. Tim lawan kembali berusaha menangkapnya. Ini adalah momen yang paling dinanti, di mana kekuatan dan ketepatan diuji.
  5. Pemukulan Mundur dan Sanksi: Tahap selanjutnya adalah memukul Anak Santek yang tergeletak di tanah dengan cara menyelipkan Inaq Santek melalui selangkangan. Permainan berakhir ketika pemukul meleset. Tim yang kalah akan mendapat sanksi, biasanya digendong dari titik tertentu menuju lubang permainan.

Santek melatih kecepatan, refleks, dan kekompakan tim. Sorak-sorai penonton dan peserta menambah semangat kompetisi yang sehat.

  1. Beledok: Senjata Bambu Berbunyi Nyaring

Beledok adalah permainan perang-perangan ala kami. Senjatanya dibuat sangat sederhana dari sebatang bambu kecil. Satu ruas bambu dipotong dan dilubangi pada salah satu ujungnya sebagai laras. Lalu, dibuat “piston” dari kayu atau bambu yang ukurannya pas dengan lubang tersebut.

Pelurunya? Bisa dari bunga jambu yang masih kuncup, atau kertas yang dibasahi dan dibulatkan. Kami lalu berperang antar kelompok. Suara “bledak!” yang keras menjadi penanda bahwa beledok buatan kami berkualitas baik. Permainan ini relatif aman dan mengajarkan keterampilan merakit serta kerja sama tim dalam strategi “perang”.

  1. Cing-Cing Biq: Teka-Teki dan Lagu Misterius

Ini mungkin permainan paling misterius dan hanya ada di daerah saya. Cing-Cing Biq adalah permainan tebak-tebakan yang dimainkan oleh lebih dari empat orang. Alat peraganya hanya sepotong kecil lidi berukuran satu sentimeter.

Cara bermainnya unik. Yang kalah suit akan membungkuk seperti orang sujud. Pemain lainnya meletakkan tangan di punggungnya sambil menyanyikan lagu berirama cepat dan penuh teka-teki:

“Cing…cing.. biq pepering cet cet
Te bebango jontoq
Ajipira teloq bebeq aji dua sopoq
Dondat-dandet sorong kapal
Buka emas
Caq mbe lue lue
Caq mbe lue lue
Caq mbe lue lue”

Sambil bernyanyi, seorang pemain yang ditunjuk secara diam-diam mengedarkan potongan lidi ke tangan semua pemain. Si penebak kemudian harus menebak di tangan siapa lidi itu berada. Jika tebakannya salah, ia harus “sujud” lagi. Jika salah tiga kali, tangannya akan “dihukum” dengan tepukan ringan (digempeng). Permainan ini melatih intuisi, kejelian, dan kekompakan dalam menyamarkan rahasia.

  1. Bentengan: Epik Pertahanan dan Penaklukan

Bentengan adalah permainan yang paling epic skalanya. Kami benar-benar merasa seperti prajurit yang memperebutkan wilayah. Dua buah benteng ditentukan, bisa pohon, tiang, atau sudut bangunan. Setiap tim juga harus membuat “penjara” untuk menawan musuh yang berhasil disentuh.

Inti permainannya adalah menyerang benteng lawan sambil mempertahankan benteng sendiri. Seorang musuh dapat ditawan hanya dengan sentuhan. Menyelamatkan tawanan pun dengan sentuhan, tetapi penjagaan di penjara biasanya sangat ketat. Permainan ini bisa berlangsung sangat lama, hingga matahari terbenam dan orang tua memanggil pulang.

Nilai edukasinya sangat dalam. Selain kejujuran (karena seringkali tidak ada wasit, kami harus jujur mengaku “tertangkap” atau tidak), permainan ini mengajarkan strategi, kepemimpinan, kerja sama, dan semangat pantang menyerah untuk mempertahankan “kedaulatan” tim.

Dari Kenangan Menjadi Tindakan: Upaya Pelestarian di Pondok Inspirasi

Menuliskan kenangan masa kecil di Batumas bagai menggali sumur yang tak pernah kering. Masih banyak permainan lain yang tak tertuang di sini: Kub-kup pan, petak umpat (kekalengan), begasing (gasing kayu), namblosbebaloan, dan lompat karet. Semua itu adalah kekayaan budaya tak benda yang tak ternilai.

Kekhawatiran akan punahnya permainan ini dan tergerusnya kebahagiaan tradisional oleh gadget dan permainan modern yang individualis mendorong saya dan teman-teman untuk bertindak. Di rumah saya, saya mendirikan Pondok Inspirasi. Sebuah ruang belajar dan bermain yang menjadi jembatan antara generasi saya dan generasi sekarang.

Di Pondok Inspirasi, anak-anak kampung saya diperkenalkan pada semua permainan tradisional itu. Sore hari adalah waktunya. Puluhan anak memadati halaman rumah, ada yang asyik main dengklak, ada yang berteriak riang main bentengan, sementara yang lain mungkin asyik membaca buku dari Taman Baca yang juga saya dirikan. Suasana itu adalah replika dari masa kecil saya, dihidupkan kembali untuk menjamin bahwa generasi penerus tidak “terculik” kebahagiaannya oleh layar kaca. Kami ingin mereka merasakan nikmatnya berkeringat, tertawa lepas, dan belajar berinteraksi secara langsung, bukan melalui avatar di dunia digital.

Belajar dan Mengabdi: Pendidikan Holistik ala Batumas

Kami sadar, anak-anak bukan hanya butuh bermain. Mereka butuh pendidikan yang menyentuh hati dan kehidupan nyata. Maka, di sela-sela keseruan bermain, kami sisipkan nilai-nilai edukasi.

  • Anak dan Lingkungan: Kami mengajak anak-anak melakukan gerakan bersih-bersih kampung. Sampah yang terkumpul lalu dipilah. Sampah anorganik dijadikan kerajinan tangan (seperti membuat boneka atau hiasan), sedangkan sampah organik diolah menjadi kompos. Dari sini, rasa cinta terhadap kebersihan dan lingkungan ditanamkan sejak dini.
  • Gerakan Magrib Mengaji: Saat azan magrib berkumandang, suasana Batumas berubah. Anak-anak tidak lagi berkeliaran. Mereka berbondong-bondong ke tempat mengaji, termasuk di Pondok Inspirasi. Kami mengaji dengan penerangan yang dulu mungkin hanya dari dila botol (lampu tempel minyak tanah), namun semangatnya tetap membara. Di sini, mereka belajar mengaji, tata cara shalat, doa-doa, dan akhlak mulia. Ilmu agama adalah pondasi karakter yang kami anggap wajib.
  • Memberikan Ruang Membaca: Melihat minat baca yang kian menurun, Taman Baca hadir sebagai oase. Anak-anak, remaja, bahkan orang dewasa dapat mengakses buku-buku bacaan secara gratis. Ini adalah upaya kecil untuk memerangi kebodohan dan membuka jendela dunia bagi warga Batumas.

Penutup: Sebuah Surat Cinta untuk Batumas

Begitulah Batumas, kampung halaman saya. Sebuah kanvas besar tempat lukisan kenangan paling indah dalam hidup saya terpampang. Dari rumah di tengah sawah yang sunyi, kini menjadi pusat denyut kehidupan dan pelestarian budaya. Kebahagiaan yang kami temukan di sini bukanlah kebahagiaan instan, tetapi kebahagiaan yang dirajut dari persahabatan, permainan tradisional, kepedulian, dan semangat gotong royong.

Saya tidak ingin generasi setelah saya hanya mengenal kebahagiaan dari dalam genggaman smartphone. Saya ingin mereka merasakan tanah basah di kaki, angin sepoi-sepoi di sawah, dan tulusnya persahabatan yang dibangun dari permainan yang menantang dan mendidik. Batumas adalah bukti bahwa kebahagiaan sejati seringkali tersembunyi dalam kesederhanaan.

Inilah sekelumit cerita dari kampung di ujung timur Pulau Lombok. Sebuah surat cinta yang ditulis dengan tinta kenangan, untuk sebuah tempat yang hingga kini, dan selamanya, tak akan pernah terlupakan.

Penulis memohon maaf karena tidak dapat menyertakan gambar pendukung, mengingat semua dokumentasi tersimpan dalam smartphone yang telah rusak dan tidak dapat diselamatkan. Namun, semoga kata-kata ini mampu melukiskan gambaran yang jelas di benak setiap pembaca. Kritik dan saran yang membangun sangat dinantikan.

penulis: Safprada

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *