Pertanian

Rela Tinggalkan Keluarga Demi Data Areal yang Terdampak Banjir Bandang

Bencana banjir bandang datang seperti tamu tak diundang. Air bah yang mengamuk tak hanya menyapu areal persawahan di Kecamatan Ambalawi, Kabupaten Bima, tapi juga menyisakan duka bagi masyarakat, Rumah terendam semua akses terputus, ada beberap jembatan terputus tidak bisa lagi dilalui. Tidak hanya itu ratusan hektar sawah terendam banjir. Sedih, apalagi melihat kondisi pertanaman yang terdampak. Bagi para petani yang menggantungkan hidupnya pada tanaman pangan. Sawah yang semula hijau, kini berubah menjadi kolam raksasa berwarna cokelat bertabur bebatuan. Padi yang hampir panen, lenyap ditelan arus. Tapi, di tengah keputusasaan itu, ada sosok yang tetap tegak berdiri, seorang Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan (POPT) perempuan yang rela meninggalkan keluarganya demi memastikan data kerusakan sampai ke meja menteri. Seaharusnya menghawatirkan kondisi dirinya dan keluarga tapi rela demi update data perkembangan banjir.

Ya, data. Entah kenapa, kata itu selalu terdengar seksi di telinga para pejabat. Tapi, apakah mereka pernah membayangkan bagaimana data itu dikumpulkan? Apakah mereka tahu bahwa di balik angka-angka itu ada keringat, air mata, dan pengorbanan seorang POPT yang harus berjuang melawan lumpur, cuaca ekstrem, dan rasa takut?

Saat banjir bandang melanda di wilayah kerjanya, Ibu Erna sedang asyik memasak sarapan untuk anak-anaknya. Tiba-tiba ada notifikasi terdengar dari ponsel, terlihat ada pesan dari WA Grup khusus POPT. langsung memutus momen kebersamaan itu. “Mohon POPT untuk segera monitoring dampak banjir di areal persawahan, data harus segera dikirim ke pusat,” kalimat himbauan yang biasa dikirim melalui WA grup oleh pihak BPTP.

Ibu Erna menghela napas. Dia tahu, ini bukan sekadar tugas rutin. Ini adalah panggilan untuk membantu petani yang sedang terpuruk. Tapi, di sisi lain, dia juga seorang ibu. “Baik, saya berangkat,” katanya, mencoba menyembunyikan kegalauan dihadapan anak dan suaminya.

Dengan sepatu kets (tidak ada sepatu boot) dan jas hujan robek, Ibu Erna melangkah keluar rumah. Hujan masih mengguyur, tapi dia tak punya pilihan. Di tengah jalan, dia hampir terpeleset.

Monitoring berlanjut. Ibu Erna harus berjalan kaki sejauh beberapa kilometer menuju areal persawahan yang terdampak parah. Lumpur dan bebatuan yang menutupi sebagian jalan mengakibatkan langkah menjadi berat. Sesekali, dia harus berhenti untuk membersihkan sepatunya yang penuh dengan tanah.

“Bu, ini sawah saya sudah hancur tertimbun lumpur dan bebatuan,” kata seorang petani tua dengan suara parau. Ibu Erna hanya bisa mengangguk. Dia tahu, kata-kata tak akan cukup untuk menghibur. Yang bisa dia lakukan adalah mencatat dengan detail berapa hektare sawah yang rusak, berapa ton padi yang hilang, dan sejauh apa dampak banjir terhadap tanaman petani terutama tanaman pangan.

Di tengah rintik hujan, Ibu Erna bekerja tanpa henti. Dia bahkan lupa makan siang. “Ah, nanti saja. Data harus cepat selesai,” katanya pada diri sendiri. Padahal, perutnya sudah keroncongan sejak tadi.

Ya, gaji. Jangan tanya berapa gaji seorang POPT honorer daerah hemmm hanya 200 ribu. jadi wajar hanya mengandalkan BOP (Biaya Operasional Petugas) yang besarannya hanya 500.000 perbulan sebagai tambahan, sekarang tidak tau rimbanya. Apakah masih ada atau tidak. Yang jelas, tak sebanding dengan pengorbanan mereka.

Bu erna merupakan honorer yang mengabdi sudah lama dari tahun 2005 hingga saat ini. Yang sangat disayangkan Bu Erna, Formasi untuk jabatanya jarang di buka dan babhkan hanya untuk PPPK tidak ada formasi POPT. Entah mungkin pejabat di daerahnya tidak mengenal POPT, padahal formasi sering kali diusulkan tapi yah…..hanya sampai dimeja saja tanpa direalisasikan.

Perakara gaji kita tinggalkan, kita lanjut ke areal yang sedang terdampak banjir. Di depan petani, dia tetap profesional walaupun kadang petani sering berkata, ”kenapa hanya mendata saja tanpa ada timbal balik seperti bantuan dll”. Bu Erna hanya terdiam sambil senyum sesekali nyeletuk ke petani “Data ini akan kami kirim ke pusat. Semoga ada bantuan untuk Bapak dan Ibu,” katanya sambil tersenyum. Padahal, di dalam hati, dia tahu data yang dikumpulkan dengan susah payah ini mungkin hanya akan jadi angka di laporan yang tak ada timbal balik. Memang sering kali terjadi.

Setelah berkeliling monitoring di 1 kecamatan dengan medan yang sudahlah..hanya Allah yang tau bagaimana kondisinya. Badannya pegal-pegal, tapi hatinya lega. Data sudah dikirim, dan dia yakin itu akan membantu petani.

“Ah, sudahlah. Yang penting saya sudah melakukan tugas,” katanya sambil memeluk anak-anaknya. Tapi, di sudut hatinya, dia berharap suatu hari nanti ada menteri yang benar-benar peduli dengan kondisinya yang belakangan ini profesinya sebagai Petugas POPT seperti tidak dikenal para pejabat termasuk menteri, yang ditau hanya data kerusakan akibat hama penyakit dan dampak perubahan Iklim, mereka tidak tau yang mengirikan data adalah petugas POPT. Sebenarnya banyak sekali keluh kesah yang mau disampikan, mulai dari statusnya yang lama mengabdi sebagai tenaga honor daerah, fasilitas sebagai petugas ujung tombak pengaman produski yang sangat terbatas dan bahkan tidak ada. Fasilitas penunjang selayaknya rekan kerjannya PPL yang biasanya para PPL berbagi fasilaitas kerja didapatkan tiap tahunnya. POPT….hanya bisa gigit jari syukur-syukur ada rompi bertuliskan POPT sebagai identitas.

Tulisan ini dipersembahkan untuk semua POPT di Indonesia. Kalian adalah pahlawan yang sering terlupakan. Semoga suatu hari, perjuangan kalian benar-benar dihargai. Atau, setidaknya akan disebut kala panen dari pejabat saat berceramah diatas panggung. hehehehe.[SR]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *