Lingkungan

Konsumerisme, Ancaman Bagi Bumi

Hai… semuanya apa kabar, bagaimana puasa nya, saya yakin pasti lancar. Saya merasa bagaimana gitu ketika melihat tema yang dihidangkan di tengah bulan puasa ini. Bukan komunitas 1minggu1cerita namanya kalau tidak menyuguhkan sesuatu di luar dugaan.  Bulan mei sudah berakhir kini memasuki bulan juli minggu ke dua, 1minggu1cerita memberikan semangat menulis lewat tema “Budaya Konsumtif” tu kan… benar.

Sebenarnya tema ini sebagai bentuk peringatan bagi diri sendiri. Tema ini sangat mantap untuk dibahas pada bulan ramadhan ini. Biasanya jika bulan ramadhan datang, diidentikan dengan pengeluaran yang sangat tinggi ya… kata lainnya membeludak. Di tambah lagi ribuan bentuk Promo yang di bumbui diskon hingga 90% menjadi daya tarik.

Mungkin semua sudah paham mengenai kondisi dunia saat ini. Dimana banyak hal yang menjadi perhatian utama masyarakat dunia terutama perubahan iklim. Dalam tulisan kali ini saya mencoma menghubungkan antara budaya konsumtif dan dampak terhadap lingkungan. Apa hubungannya budaya konsumtif dengan Perubahan Iklim. ???

Sebelum ke titik permasalahan saya mencoba mengartikan kata budaya dan konsumtif. Budaya itu sendiri berarti suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Sedangkan kata konsumtif yaitu sebuah keinginan untuk mengkonsumsi barang-barang yang sebenarnya kurang diperlukan secara berlebihan guna mencapai kepuasan yang maksimal. Intinya hanya sebuah kepuasan bukan sebuah kebutuhan.

***

Dari tahun ketahun pembangunan dan alih fungsi lahan kini mulai terasa dampaknya bagi kehidupan manusia. Pertumbuahan jumlah penduduk mendorong bumi menuju kehancuran. Ekploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran didasari oleh pemenuhan kebutuhan manusia. Perkembangan teknologi menjadi salah satu penyebab. Sadar-tidak sadar semua ini kita lakukan demi memenuhi asrat hati kita. Bayangkan saja kian bertambah jumlah tahun kian berkembang ilmu pengetahuan sehingga menjadikan manusia menjadi kian manja. Kondisi dimana semua tersajikan dengan instan tentunya sangat memudahkan manusia akan tetapi kita tidak melihat dampak negatif yang tiap detik mengintai bumi kita.

Coba kita kembali ke era tahun 80-an atau paling tidak tahun 90-an dimana kala itu teknologi baru mulai merangkak tidak seperti saat ini. Untuk berkomunikasi saja kita masih menggunakan surat menyurat hingga sambungan kabel, tapi untuk saat ini, hampir tiap menit merek benda yang digunakan untuk berkomunikasi mengalami perubahan. Hal inilah yang menjadikan wabah dan mengubah tingkah laku manusia yang ingin memenuhi keinginannya dengan hal-hal baru. Bayangkan saja Dari yang berbentuk ukuran seperti batu bata hingga layar di gosok-gosok. Kita hanya berbicara tentang alat untuk berkomunikasi, belum lagi transportasi, dan bentuk yang lainnya yang tiap tahun memaksa untuk merusak ekosistem yang sejatinya melindungi bumi kini kian terancam keberadaannya.

Contohnya seperti yang saya amati belakangan ini, ada seorang teman saya memiliki handphone dengan merek terkenal. Handphone yang dia miliki belum 1 bulan di tanganya sudah diganti ke bentuk yang menurutnya lebih kren dan canggih. Saya sengaja menyebutkan contoh di atas sebagai wakil dari sifat konsumtif yang kita miliki. Saya rasa bukan hanya teman saya saja yang memiliki sifat seperti itu, saya yakin kita semua memilikinya. Betul tidak??? (jawab dalam hati)

Kebutuhan akan pangan juga menjadi bagian dari penyumbang kerusakan di bumi ini. Bagaimana tidak pertumbuhan penduduk yang tiap detik terus meningkat memaksa manusia untuk mencari solusi bagaimana menjawab kebutuhan akan pangan. Hutan mulai dirusak untuk dijadikan sawah, sawah dirusak untuk dijadikan pemukiman. Tanaman padi yang dulunya tubuh subur kini di gantikan tanaman beton gedung bertingkat dan lain sebagainya. Semuanya itu karena budaya Konsumerisme masyarakat.

Masalah terbesar konsumerisme adalah orang tidak menyadari adanya dampak yang ditimbulkan. Kita sudah mengkonsumsi sumber daya pada tingkat yang mengkhawatirkan, dan lebih cepat dari bumi kita untuk dapat menyediakan kembali kebutuhan manusia itu sendiri. Jika kita fokus pada negara-negara Barat dimana budaya yang paling berkembang, masalahnya lebih besar lagi. Diperkirakan, jika semua orang di bumi mengkonsumsi jumlah yang sama dengan rata-rata warga negara AS, maka dibutuhkan empat planet bumi untuk menopang kebutuhannya.  Adapun dampak negatif yang ditimbulkan oleh masyarakat konsumeris, diantaranya:

Ketimpangan global

Meningkatnya konsumsi sumber daya di negara-negara kaya telah menyebabkan kesenjangan yang semakin melebar antara orang kaya dan orang miskin. Seperti ungkapan kalimat yang tidak asing kita dengar, “orang kaya semakin lebih kaya dan orang miskin semakin lebih miskin”. Dengan phenomena ketimpangan ini, kita bisa melihat dari tren belanja yang teramat konsumtif. Andi saja uang yang kita belanjakan karena kebutuhan bukan karena mengikuti tren mungkin bisa membantu orang yang membutuhkan. Sekarang jika kita melihat beberapa bidang terutama mengenai perekonomian, kita dapat melihat bahwa masyarakat kita memiliki masalah serius pada bidang tersebut. Saya pernah membaca situsnya www.globalissues.org di dalamnya terdapat bahasan mengenai gambaran orang Eropa tiap tahunnya menghabiskan $ 11 miliar untuk es krim. Saya sempat terdiam, luar biasa dan jika kita kalkulasikan dengan jumlah uang yang begitu banyak Ini cukuplah untuk menyekolahkan anak-anak yang kurang mampu. Jika kita bisa mengurangi tingkat konsumsi kita hanya dengan sebagian kecil dari jumlah mereka sekarang, maka kita dapat secara dramatis mengubah kehidupan orang-orang miskin di seluruh dunia.

Masalah lingkungan

Seperti yang saya ceritakan pada paragraph di atas, bahwa sudah jelas konsumerisme menghancurkan lingkungan kita. Seiring permintaan barang meningkat, kebutuhan untuk memproduksi barang-barang ini juga meningkat. Hal ini menyebabkan emisi polutan lebih banyak, peningkatan penggunaan lahan dan penggundulan hutan, dan mempercepat perubahan iklim. Ayok… kalimat pembelaan apalagi yang akan kita teriakkan demi menyenangkan hati kita.

Kini masyarakat dunia terutama di Indonesia sendiri sudah mengalami dampak buruk pada persediaan air, karena semakin banyak persediaan air yang digunakan atau dialihkan ke industry terutama perhotelan. Kalian bisa cari tau di beberapa sumber, bahwa pola hidup manusia yang menyebabkan banyaknya hotel-hotel berdiri tegak mengakibatkan sumber mata air berubah menjadi air mata. Ini bisa di tanyakan ke warga yang rumahnya berdekatan langsung dengan hotel. Bagaimana tidak tiap detik dengan kapasitas yang tinggi, air bawah tanah di sedot. Belum lagi pembuangan limbah menjadi masalah di seluruh dunia, dan lautan menjadi bak sampah raksasa. Menurut para ilmuwan, seperti yang di tulis dalam www.sciencemag.orgmengungkapkan bahwa kurang lebih 12 juta ton plastik mengendap di lautan setiap tahunnya.

****

Jelas bahwa kita perlu mengurangi sifat konsumerisme dan mengubah gaya hidup kita saat ini, jika tidak, lambat laun daratan yang kita pijak akan hilang di telan air laut. Apakah kita siap menjadi ikan di lautan. Atau mungkin kita sebagai orang yang dikatakan ahli dibidang teknologi siap mengantikan paru-paru yang kita miliki dengan insang. Kondisi saat ini, manusia mengkonsumsi sumber daya tanpa mengetahui keberlanjutannya, yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan masalah sosial di seluruh dunia.

Orang mengganti barang mereka dengan yang baru. Mereka membeli barang, menggunakannya dan membuangnya saat mereka menjadi tua atau sudah ketinggalan zaman. Selain masalah kerusakan lingkungan, juga berpengaruh pada kesehatan psikologis manusia karena rasa ingin seseorang yang jika tidak terpenuhi akan mengalami stress. Sudah saatnya kita sebagai Makhluk yang berpikir untuk membuat perubahan pada diri kita dengan mengurangi barang-barang materialistik, meningkatkan daur ulang, dan meningkatkan kesadaran dikalangan keluarga dan komunitas masyarakat. Mumpung di bulan suci ini kita rubah gaya hidup kita. Setuju atau tidak pada kenyataannya memang benar bahwa aktivitas dengan sebutan berbelanja bukan menjadi suatu kebutuhan melainkan sebuah kegiatan yang bisa saja dikatakan hobi. [SR]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *