KISAH SEDIH ANAK PEREMPUAN DARI PELOSOK LOMBOK
Tahun lalu tepatnya pada bulan Nopember 2017, memberikan sebuah catatan kecil tentang seorang perempuan di sudut timur Pulau Lombok. Hari itu telah saya masukkan dalam list hari-hari yang berkesan dan berpelajaran bagi saya. Bertemu seorang perempuan ‘pemberani’ yang saya baru kenal pertama kali cukup membuka mata dan telinga untuk melihat kehidupan sebagian perempuan Lombok serta merekam sedikit dari jejaknya.
Lombok selama ini dikenal sebagai pulau yang Islamic Religious. Selain berpredikat sebagai World Best Halal Tourism Destination dalam dunia pariwisata, julukan yang sudah lama melekat adalah Pulau Seribu Masjid. Sayangnya, berbagai julukan positif yang dimiliki Pulau Lombok belum mampu menyembunyikan julukan-julukan negatif yang jumlahnya memang menandingi julukan positif yang ada, menurut saya. Masyarakatnya yang banyak merariq kodeq sampai Pulau Seribu Janda yang menandakan masyarakatnya banyak yang kawin-cerai kian disandang oleh Pulau Lombok.
Ternyata julukan-julukan itu bukan hanya terkenal di seantero Indonesia, tapi juga sampai di luar negeri. Malaysia contohnya. Beberapa tahun lalu, ada seorang teman di Lombok Timur yang calon istrinya adalah seseorang dari Suku Melayu. Tinggal beberapa hari keberangkatannya bersama rombongan keluarga menuju Malaysia dengan tujuan perkenalan keluarga, si calon istri mengabari bahwa Neneknya –yang baru saja tahu tentang rencana cucunya- langsung menolak niatan cucunya itu untuk dipersunting oleh lelaki Lombok. Alasannya, sang Nenek entah mendapat kabar dari mana bahwa Lombok terkenal dengan banyaknya masyarakat yang kawin-cerai. Alhasil, gagal lah rencana pernikahan mereka. Duhhh.. Lombok tercinta ternyata imagenya sampai begitu yah. Saya sebagai orang Lombok tulen pun tak bisa mengelak berbagai julukan negatif tersebut. Saya juga tidak bisa serta-merta mengiyakan julukan-julukan buruk tentang Lombok karena TIDAK SEMUA masyarakat Lombok seperti itu. Ada banyak otak yang Lombok punya yang kini berjejeran di dunia international demi meraih prestasi dalam karir, pendidikan, dan nama harum Lombok.
Baiklah, kita kembali ke pembahasan awal tentang 3 Nopember 2017. Hari itu saya mengunjungi sebuah desa di Lombok Timur untuk bertemu dengan teman saya, anggap saja namanya Pak Merep, yang tergabung dalam Lembaga Perlindungan Anak (LPA) tingkat desa. Saya hanya ingin tahu bagaimana keadaan anak-anak di desanya sejauh ini dan apakah ada perkembangan ke arah yang lebih baik. Hari itu saya tidak sendirian. Seorang teman istri saya yang berasal dari Belanda yang saat itu sedang jalan-jalan dan mengunjungi istri saya selama 4 hari, menemani saya karena kebetulan dia termasuk orang yang peduli terhadap sosial. Apalagi dia cukup tahu tentang Lombok terutama kondisi perempuannya yang tak jarang diberitakan mengalami kekerasan.
Sampai di rumah Pak Merep, saya lihat ternyata beberapa gelas air putih sudah dari tadi menunggu kedatangan kami. Begitu juga dengan Pak Merep, putranya, dan beberapa gadis belia yang obrolannya sempat terpotong akibat kedatangan kami. Banyak hal yang saya tangkap dari cerita Pak Merep yang panjang lebar tentang kondisi anak perempuan di sana. Beberapa kisah membuat saya tersenyum sambil memikirkan sebuah harapan baik. Namun tak sedikit juga kisah yang membuat saya mengerutkan dahi dan istighfar berkali-kali. Sebuah kisah yang mencengangkan hari itu adalah, seorang anak perempuan usia 14 tahun sudah berstatus janda. Plus, pernikahannya hanya berusia kurang dari 5 bulan. Ditambah lagi, dulu yang menyebabkan dia menikah adalah pergaulan bebas. Komplit, kan? Komplit mirisnya.
Setelah inti obrolan saya dengan Pak Merep selesai, saya tidak memutuskan untuk pamit begitu saja sebelum mengenal beberapa orang lain yang ada di sekitar saya saat itu. Tak lain, mereka adalah gadis-gadis belia yang dari tadi mendengar obrolan saya dan Pak Merep. Ternyata, kisah miris tadi adalah milik salah satu perempuan belia yang saya pikir masih gadis, sebut saja namanya Sanah. Di satu sisi, saya merasa malu dan tak enak karena dari tadi dia menyaksikan bagaimana ekspresi dan tanggapan saya saat mendengar kisahnya dari Pak Merep. Di sisi lain, saya ingin tahu lebih banyak tentang dia. Tanpa banyak kata, saya langsung meminta izinnya untuk ditanyai beberapa hal tentang kisahnya itu.
Geram. Dalam hati hanya ada rasa geram mendengar cerita lengkapnya. Jauh lebih miris dari pada yang diceritakan oleh Pak Merep tadi. Di usia 14 dia harus menanggung beban sebesar itu. Berpacaran lalu dipaksa melepas status perawannya, menikah dengan paksaan keluarga yang tak mau menanggung malu lalu terpaksa memutus sekolahnya, menjalani kehidupan sebagai istri yang setiap hari batinnya tersiksa dengan menerima kenyataan bahwa suaminya berselingkuh, hingga diceraikan dengan kekerasan, dan sekarang dia harus mengecap sebuah status yang hanya mampu dijalani dengan baik oleh perempuan-perempuan dengan kepribadian dan mental yang matang: Janda.
Dalam masalah ini, saya tidak ingin mencari siapa yang salah. Saya hanya ingin sedikit menggambarkan kondisi desa yang menjadi tempat tinggal Sanah di Lombok Timur, yang juga merupakan desa asal Pak Merep. Seperti anak-anak di desa lain, anak-anak di desa tersebut juga menjalani hari-harinya seperti biasa. Sekolah, bermain, sesekali jalan-jalan bersama teman-temannya. Pertanyaannya adalah, seperti apa mereka di sekolah? Apa permainannya? Bagaimana teman-teman bergaulnya? Ternyata, banyak sekali anak-anak sekolahan di desa itu yang berlaku dan berpenampilan dewasa sebelum waktunya. Dandan menor dan dijemput pacar ke sekolah menjadi hal yang biasa. Belum lagi sepulang sekolah yang menjadi alat permainannya adalah gadget. Dari gadget, tentu banyak hal positif yang didapatkan namun tidak sedikit hal negatif yang mencandu. Terakhir, teman bergaul. Bersyukur jika teman bergaul adalah orang yang mampu menularkan semangat-semangat positif. Bagaimana jika teman bergaul menjadi penyemangat dalam hal negatif seperti berpacaran, bolos sekolah, dll. seperti yang terjadi di desa itu?
Begitu lah. Berbicara tentang pergaulan bebas sampai pada putus sekolah memang selalu berhasil menyayat hati. Namun tak ada yang bisa disalahkan dari mereka yang tinggal di pelosok timur Lombok yang terbatas dalam akses informasi yang bermanfaat. Masyarakat yang melek pendidikan juga masih terlihat seperti mimpi di desa itu. Bukan hanya desa itu, banyak desa di pelosok Lombok juga mengalami hal yang sama: terbatas dalam akses informasi yang bermanfaat. Tapi yang sangat saya syukuri adalah keberadaan Pak Merep. Setidaknya dengan adanya beliau di desa itu, masyarakat yang melek pendidikan bukan lagi sebuah mimpi melainkan sebentuk upaya yang diperjuangkan bersama.
Melalui LPA, tentu banyak hal yang bisa dilakukan seperti memberikan pendidikan informal pada anak terkait pergaulan bebas, merariq kodeq, putus sekolah dan semua permasalahan yang saya sebutkan di atas. Sejauh ini, telah banyak upaya yang dilakukan Pak Merep selaku anggota LPA sekaligus sosok yang sangat peduli dan dedikatif berjuang untuk kesejahteraan anak di desanya, salah satunya adalah menawarkan Sanah untuk mengikuti paket A (penyetaraan untuk mendapatkan ijazah SD) agar dia bisa melanjutkan haknya untuk mengenyam pendidikan hingga nantinya mendapat penghidupan yang layak. Namun sekali lagi, Sanah, sang perempuan pendiam dan pemalu itu membuat keputusan yang salah dengan menolak tawaran Pak Merep yang ingin membantunya. Dia kekeh ingin melanjutkan aktivitas sehari-harinya yaitu memungut pelepah kelapa untuk dijadikan sapu lidi lalu dijual. Alasannya, Sanah merasa malu jika dia sekolah lagi. Dia khawatir teman-teman sekolahnya akan menertawakan masa lalunya yang menurut dia ‘memalukan’. Saya sendiri saat itu berusaha meyakinkan dia agar dia mau menerima tawaran Pak Merep. Tapi keputusan ada pada dia yang akan menjalani kehidupannya. Semoga saja, semangat tetap membersamai Sanah hingga dia nantinya hidup bahagia. Tapi jangan lupa bahwa kisah Sanah adalah PR bagi kita semua untuk diselesaikan secepat dan setepatnya.[SL]